Symphony untuk Nara

Symphony untuk Nara

SYMPHONY UNTUK NARA

  • Cerita Dewasa. Hujan malam itu jatuh deras di kota kecil Sumatra. Nara duduk sendirian di gudang, ruang musik tua, jemarinya menggantung di atas tuts piano. Ia menekan satu nada, suaranya sumbang. Jari-jarinya masih kaku, seolah Symphony untuk Nara itu trauma tak pernah mau pergi.

Pintu berderit. Seorang pria tinggi dengan jas lusuh berdiri di ambang pintu. Wajahnya letih, tapi sorot matanya tajam.

“Jadi ini pianis legendaris yang menghilang,” katanya datar.

Nara mendongak, terkejut. “Kau siapa?”

Namanya Dira. Seorang komposer yang kehilangan istrinya, dan bersama itu pula hilang inspirasinya.

“Aku butuh kau,” ucapnya tanpa ragu. “Bukan untuk panggung besar. Untuk hidupku sendiri.”

 

Bayangan Masa Lalu

Symphony untuk Nara

belum sempat aku menjawab, Dira menciumku di bibir. Aku terkejut sampai tidak bisa berkata apa-apa. Namun di satu sisi aku bahkan terlihat tidak menolak perlakuan Dira yang tidak sopan itu.

Hingga akhirnya bibir kami saling berpagut melakukan french kiss. Penetrasi lidah Dira di mulutku terlihat sangat berpengalaman. Tanpa disadari, Tanganku memegang dadanya, kemudian mengusap menyusuri perut dan tidak terasa hingga sampai pada batang Dira yang ternyata sudah sangat keras itu.

Dira terkejut. Begitupun dengan aku.

“Maa..aaffff, aku refleks melakukannyaa” kataku ambil terbata-bata.

Namun Dira hanya tersenyum dan akhirnya pergi begitu saja.

 

Komposer yang Kehilangan

Dira datang lagi esoknya, membawa selembar partitur. “Mainkan,” pintanya.

Nara menolak. “Tanganku tak seperti dulu.” seakan tak ada lagi Symphony itu dalam diri Nara

Dira melangkah mendekat. Begitu dekat, Nara bisa mencium aroma kopi bercampur tembakau dari tubuhnya. Tangannya terulur, dengan berani ia menyentuh jemari Nara.

“Jangan bilang kau tak bisa, sebelum kau mencoba di bawah sentuhanku.”

Sentuhan itu membuat Nara gemetar. Ia tahu ini bukan sekadar soal musik.

 

Malam Symphony yang Indah

Symphony untuk Nara

Malam itu mereka duduk berdampingan di piano. Nara salah nada, mengumpat pelan.

Dira tertawa lirih. Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Nara. “Tenanglah. Rasakan aku. Rasakan musiknya.”

Ia menutup tangan Nara dengan tangannya sendiri, membimbing pelan di atas tuts. Hangatnya membuat jantung Nara berlari. Nada berikutnya mengalun, kali ini berbeda—hidup, liar, penuh emosi.

Nara menutup mata, tubuhnya goyah. Rasanya seperti sedang menari bukan dengan musik, melainkan dengan dirinya.

Hari-hari berikutnya mereka semakin dekat. Kadang saat latihan, bahu mereka bersentuhan lebih lama dari yang perlu. Kadang tatapan mereka terkunci terlalu dalam, seolah mencari sesuatu yang tak berani diucapkan.

 

Sore Bergairah

Suatu sore listrik padam. Ruangan hanya diterangi lilin. Dira menyandarkan punggung ke dinding, Nara duduk di depannya.

Tiba tiba Dira meremas payudaraku. Sontak saja aku sangat terkejut dan mengeluarkan suara, ”.Emhh.. Dira.. ahh”. Apakah akan terjadi sesuatu? Pikirku.

Dira semakin vulgar dan langsung mensusupkan tangannya ke dalam payudaraku. Putingku dipilin, dan akupun sedikit menjerit, dan menggelinjang.
“Emhh..nikmatnyaa” dalam hatiku.

Dibalik ruangan yang remang-remang hanya diterangi lilin kecil. Suasana pun semakin memanas. Seakan ada Symphony yang begitu indah akan datang bagi Nara. Ketika itu juga Dira membuka bajunya dan baju Nara sekaligus. Tanpa pikir panjang, Nara pun membantunya dengan melucuti semua pakaian Dira serta pakaiannya sendiri.

Kemaluan ku yang masih terhalang stocking dijilat. Noda basah di bibir vagina ku tercetak jelas di mata Dira dalam suasana yang mencekam itu. Aku pun tak sanggup menahan nafsu ku dan semakin meracau serta menggelinjang.

“Emhh Dira.. ahh”, Nara sedikit berteriak tertahan

Nara mengejang hebat, tanda orgasme pertamanya.

Lalu Dira pun menyeletuk, “sekarang giliran ku kan Nara?” dengan nada yang sedikit meledek karena berhasil memuaskanku.

Aku pun tanpa pikir panjang langsung mengocok batang Dira yang sudah daritadi teriak untuk dipuaskan.

Perlahan ujung lidahku menari di batang penisnya. Rasa hangat itu terasa manakala lidahku menyapu seluruh permukaan penis Dira. Seluruh batang penisnya pun ku benamkan ke dalam mulutku.

“Ohh..!” Dira pun tak luput meracau.

5 menit sudah ku keluar masukkan batang itu dalam mulutku bagai symphony dalam diriku,  batin Nara. Tiba tiba Dira teriak semakin keras

“terus Nara, aku sudah tidak tahan lagi, lebih cepatttttt !!”

Nara yang menyadari Dira akan segera mencapai klimaks pun semakin ganas mengolah batang penis itu.

Namun mendadak Dira menarik batangnya dan langsung memasukkan nya ke dalam lubang ku yang sedari tadi sudah basah tak karuan. Genjotan demi genjotan terjadi begitu saja dengan nikmatnya.

“ayo Nara, biar aku keluarkan di dalam” racau Dira

Aku yang sudah kepalang basah pun membiarkan Dira melakukan hal tersebut tanpa berpikir panjang.

“Errgh.. erghh.. ahh.”, Nara mendesah tanda menikmati genjotannya Dira.

Tanpa disadari, Dira menarik tubuhku hingga terbaring diatas tubuhnya sambil melanjutkan genjotan nya.

“Arrgghh.. oohh.. aah.. enakkhh.. aahh.. nikmathh.. ooh.” Seru ku dengan nikmatnya.

2 menit saja dengan posisi seperti itu, Dira mengejang, dan berteriak panjang bagai symphony dalam diri Nara ”, AARRGHH.. Shit.. Uuuhh.. Nara.. aaihh.”, tanda dia mencapai orgasme.

Tanpa pikir panjang Dira mengeluarkan cairan spermanya ke dalam vagina ku tanpa bertanya terlebih dahulu.

“DIRAAA…. KOK KAMU KELUARIN DI DALEM SIH???”

Dira hanya mengangguk tanpa berkata apa apa karena masih menikmati penetrasinya.

Aku yang merasa kepalang tanggung pun memasukkan kembali batang penis Dira dan memaksa nya untuk memuaskanku sekali lagi sebagai gantinya.

Tanpa pikir panjang Dira pun meladeniku

“Ohh.. Dira..eh.. aagh.. nikmat ra.. ah.. Shitt.. C’mon.. harder baby.” sampai akhirnya aku pun mencapai orgasme ku.

Nara merasa sangat puas tanpa memikirkan apa akibatnya nanti.

Tanpa mereka sadari, lampu pun sudah menyala.

Mereka yang menyadari hal tersebut pun langsung saling bertatap dan langsung memakai pakaian nya kembali dengan malu-malu karena sama sama tidak menyangka akan melakukan hal tersebut ditempat itu.

“Kenapa kau terus memaksaku?” tanya Nara pelan.

“memaksa apa? Bukannya kau pun mau?” jawab Dira.

Nara pun mengalihkan, “sudah jangan bahas itu lagi, anggap tidak terjadi apa-apa” serunya.

Dira pun mengangguk dan bertanya lagi

“jadi memaksa apa yang kau maksud itu”?

“memaksa ku memainkan musikmu !!” jawab Nara dengan sedikit ketus.

Dira menatapnya lama. “Karena setiap kali kau memainkan musikku, aku merasa kau sedang menyentuh jiwaku. Seperti ada Symphony dalam jiwamu Nara”

Nara terdiam. Hanya detak jantung mereka yang terdengar, saling bersahutan.

Kedekatan mereka akhirnya mulai terusik. Alvaro, manajer lama Nara, datang membawa tawaran: konser besar di Paris.

“Kau bisa kembali jadi legenda,” katanya sambil meraih tangan Nara. “Kau pantas berada di panggung, bukan terjebak di kota kecil bersama seorang komposer gagal.”

Dira mendengarnya. Matanya gelap, bukan karena cemburu pada tawaran, tapi pada tatapan Alvaro yang jelas-jelas menginginkan lebih.

Malam itu latihan berjalan tegang. Nara mencoba menjelaskan, tapi Dira tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.

“Kalau kau pergi, jangan biarkan managermu menyetubuhimu seperti yang kita lakukan barusan malam hari ini,” katanya, nyaris berbisik di bibirnya.

 

Takdir Berkata Lain

Mereka akhirnya sepakat mengadakan pertunjukan kecil di aula tua. Malam itu penuh sesak, lampu remang, udara panas.

Ketika Nara mulai memainkan simfoni Dira, matanya tertutup. Tubuhnya bergerak mengikuti musik, napasnya memburu. Di sampingnya, Dira berdiri dengan mata yang tak pernah lepas darinya.

Nada-nada itu bukan sekadar musik. Itu adalah ciuman yang tak pernah terucap, sentuhan yang tertahan. Seluruh kota Lirona merasakannya.

Tepuk tangan membahana, tapi Nara hanya menoleh pada satu orang: Dira. Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Nara tersenyum dengan seluruh jiwanya.

 

Tapi kebahagiaan itu rapuh. Keesokan paginya, Dira menghilang. Di atas piano hanya ada secarik kertas:

“Musikku sudah hidup bersamamu. Tapi kau butuh panggung yang lebih besar, bukan aku. Jangan mencariku.”

Nara yang masih membayangkan kejadian kemarin malam pun merasa tidak terima.

Nara meremas kertas itu hingga kusut. Dadanya sesak. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi yang tersisa hanya keheningan yang dingin. Ia berharap Dira masih ada di sisinya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sebelumnya.

Beberapa bulan kemudian, Nara tampil di panggung Paris. Lampu sorot menyinari tubuhnya, gaun panjangnya berkilau dan perutnya yang bulat besar seperti balon itu pun akhirnya memainkan piano dengan penuh tenaga, penonton berdiri memberikan tepuk tangan meriah.

Tapi di balik semua itu, Nara merasa kosong. Tidak ada Dira di sampingnya. Tidak ada bisikan hangat di telinganya.

Di balik panggung, ia menangis diam-diam.

Suatu malam, ia menerima paket. Sambil menggendong anaknya yang baru berusia 1 tahun itu pun ia membuka paket tersebut. Di dalamnya, partitur baru berjudul: “Symphony for Nara.”

Tangannya bergetar. Hanya satu orang yang bisa menulis musik seperti itu. Di pojok partitur tertulis:

“Jika kau masih merasakanku, mainkan ini. Aku akan datang.”

“Aku akan datang untukmu dan anak kita”

 

 Akhir cerita

Symphony untuk Nara

1 bulan kemudian, Vienna. Konser megah. Ribuan penonton memenuhi aula. Nara duduk di depan grand piano, partitur itu terbuka.

Nada pertama mengalun dengan Symphony yang indah dari Nara, lembut lalu semakin liar, seperti tarian dua tubuh yang lama terpisah. Musik itu penuh cinta, penuh rindu, penuh hasrat yang tak pernah selesai.

Di antara penonton, seorang pria berdiri di bayangan. Matanya berkaca-kaca, dadanya naik-turun menahan gejolak.

Apakah itu benar Dira? Ataukah hanya bayangan?

Yang jelas, malam itu, cinta mereka hidup lagi—panas, liar, dan abadi dalam setiap nada. walaupun hanya dalam kenangan.

 

Author: admin