
Kakak Teman ku Novel Asupan kali ini datang dengan kisah yang mungkin paling banyak diminati, sesuai judul langsung saja ke ceritanya
Hari Minggu itu, aku, Jonas, yang berusia 24 tahun, sudah berjanji dengan temanku, Abay, juga 24 tahun, untuk mengunjungi rumah teman-teman kami dari masa perguruan silat dulu. Abay adalah teman sekampungku, dan sekarang dia sudah orgtu laki-laki (yatim). Setahun setelah papanya meninggal, mamanya pun menikah lagi.
Kakaknya bernama Diandra, usianya 27 tahun, sudah menikah tetapi belum juga mendapat anak.
Kak Dindra adalah kakak tingkat kami waktu sekolah dulu. Sore itu, aku menjemput Abay di rumahnya. Namun, saat aku tiba, kakaknya mengatakan Abay baru saja pergi mengantar abang iparnya ke rumah saudara untuk suatu urusan.
Kakaknya sendiri tidak ikut karena tiba-tiba merasa agak meriang sore itu. “Tunggu dulu ya, Jo,” kata Kak Diandra kepadaku. Karena aku sudah biasa main ke rumah mereka, aku langsung masuk ke ruang TV. “Kakak sendirian di rumah? sepupu yang kemarin mana?” tanyaku sambil selonjoran di karpet biru di depan TV.
“Iya, tadinya kakak mau ikut Intan, tapi entah kenapa tiba-tiba meriang. Si Intan, sepupunya, lagi pulang kampung,” jawabnya sambil membawakan aku segelas teh hangat. “Kakak masuk angin, ya?” tanyaku sambil menyeruput teh yang dia sediakan.
“Minum obat dong, kak” kataku lagi sambil memandangnya yang duduk bersila di kursi, sementara aku masih rebahan di karpet. “Atau dikerok biar anginnya keluar,” candaku. “Pengen sih, tapi tukang pijjitnya jauh,” balasnya.
“Suruh suami kakak kerokin dong,” usulku.
“Hah, boro-boro mau ngerok, disuruh mijit aja males,” keluhnya.
“Aku yang kerokin, mau nggak?” candaku lagi.
“Mau sih, tapi malu,” Dia tertawa kecil.
“Malu apa sama aku, aku kan temen si Abay, terus dari masih sekolah juga sudah kenal kak” kataku
Tapi aku nggak yakin dia serius mau dikerok.
“Nggak jadi dikerok, mijit aja deh, Jo, kalau kamu mau. Nanti bingung kalau suami kakak nanya siapa yang ngerok,” pintanya sambil terkekeh.
Aku menyuruhnya duduk di lantai, bersandar ke kursi, sementara aku duduk di kursi tepat di belakangnya. Karena tidak ada perasaan apa-apa, makanya dia nggak keberatan aku mijit. Sambil ngobrol santai, aku memijat pundak dan leher bagian belakangnya.
Sambil menggeser posisi duduknya agak maju
Dia berkata, “Jo, turun sedikit ke bagian punggung.” Aku pun mengikuti arahannya sambil memijat dan menonton TV.
“Lepasin tali BH-nya dong, Kak, ngehalangin,” kataku.
Kak Diandra langsung melepas BH-nya dan meletakkannya di samping. Aku mulai berpikir macam-macam melihat BH-nya yang cukup besar, membayangkan isinya pasti juga besar. “Kakak tiduran ya, Jo,” pintanya. Lalu dia telungkup di karpet di depan TV.
Aku turun dari kursi dan duduk di samping tubuhnya. Aku mulai memijat bagian pinggulnya yang berisi, lalu turun ke pahanya yang terlihat putih karena dia hanya memakai celana pendek. Tanganku mulai sedikit bandal, sengaja kugesek-gesek perlahan, ingin melihat reaksinya.
Di bagian punggung dekat payudaranya, jari-jariku mulai bermain nakal. Aku sengaja meraba sedikit sisi payudaranya. “Geli, Jo,” katanya, tapi dia diam saja. “Kena ya kak? Maaf, kak,” ujarku pura-pura kaget.
Dia pun hanya diam.
“Kak, buka kausnya aja deh,” pintaku. “Nggak ah, nanti kalau Abay sama suami kakak pulang gimana?” tanyanya ragu. “Ya, nanti cepet-cepet pakai lagi,” jawabku singkat.
Dengan sedikit malu, dia melepas kausnya, lalu cepat-cepat telungkup lagi. Pikiranku semakin liar. Ingin rasanya memeluknya dan merasakan hangat tubuh kakak teman ku itu, tapi aku ragu. Dengan hati-hati, aku mulai meremas bagian samping payudaranya dari belakang. Dia tampak kaget, tapi dia diam saja. Malah, dia membiarkan jari-jariku semakin meraba payudaranya.
“Geli, Jo,” katanya dengan suara agak mengerang. “Maaf, Kak, aku nggak tahan pengen pegang payudara kakak,” kataku gemetar. “Nggak apa-apa, kan, kak? Maaf ya kak,” tambahku semakin nervous.
Dia menggeleng pelan, dan nafsuku semakin memuncak. Aku menarik tubuhnya agar duduk, lalu membalikkan badannya menghadapku. Dengan cepat, aku menempelkan bibirku ke bibirnya. Dia yang awalnya kaget, mulai membalas ciumanku.
Seperti kesurupan, kami saling menjilat bibir dengan penuh gairah. Tanganku meremas payudaranya, sementara tangannya mengelus punggungku yang sudah telanjang. Aku menarik tubuhnya agar berdiri, lalu menurunkan celana pendeknya bersama celana dalamnya. Dia juga dengan gugup membuka kancing celanaku dan menarik resletingnya.
Aku membantu menurunkan celana dan celana dalamku hingga kami sama-sama telanjang, berpelukan dalam posisi berdiri. “Masukin ya, Kak,” pintaku saat tangannya dengan liar meremas penisku yang sudah sangat tegang. Dia pun hanya mengangguk pelan saat aku mengarahkan penisku ke vaginanya yang sudah sangat basah.
“Shhh… ahhh…” Dia mengerang. “Cepetan, Jo, nanti mereka keburu datang,” katanya sambil merenggangkan kakinya. “Ahhh, Kak…” ujarku.
Tak tahan merasakan sentuhan tangannya.
Dengan posisi berdiri, penisku mulai masuk ke vaginanya dengan bimbingan tangannya. “Pelan-pelan, Jo… ahhh… ahhh…” Kak Diandra mengerang sambil memelukku erat. “Kak… ahhh…” erangku, menikmati sensasi menyetubuhi kakak teman ku.
“Cepat, Jo, lebih cepat lagi…” pintanya seperti merengek.
“Iya, kak, enak gini?” tanyaku sambil menjilat lidahnya yang menjulur.
Dia pun hanya mengangguk. “Jo, aku mau keluar… lebih cepat lagi, Jo…” pintanya sambil tubuhnya kejang kejang tipis.
Aku yang juga sudah di ambang klimaks mempercepat gerakan.
“Auuu… Jo aku keluar…”. Sambil menggigit bibir bawahnya.
“Aku juga, Kak…” kataku hampir bersamaan.
Meski tubuhnya lelah, Dia tetap tersenyum ketika kupeluk.
“Terima kasih, Jo,” bisiknya sambil tersenyum.
“Iya, makasih juga, Kak,” balasku sambil terus memeluknya.
Kami berpelukan lama, masih telanjang, duduk di karpet depan TV. Tiba-tiba tak terduga. Sambil mengambil tali dan kausnya.
“Pakein dong, Jo, nanti keburu meraka datang,” pintanya manja. Aku memakaikan BH dan kausnya sambil tanganku nakal meremas payudaranya yang sudah agak rileks. “Udah, ah, besok-besok kan bisa lagi, Jo,” katanya.
Kami sudah selesai memakai pakaian masing-masing, tapi masih ingin berpelukan. Abay masuk ke halaman dengan motor King-nya yang tiba-tiba meraung keras. “Abay datang,” bisiknya. Dia sempat mencium pipiku sekali. “Besok lagi ya, Jo,” katanya manja. Namun aku hanya mengangguk sambil memperhatikan Kakak teman ku berlari ke pintu depan.
Aku masih duduk menonton TV saat Abay menyapaku. “Yuk, Jo, langsung cabut. Teman-teman udah nunggu. Udah lama nunggu? Maaf, aku tadi mengantar abang ipar,” katanya meski tidak ada yang bertanya. “Jonas sudah menunggu dari tadi. Buruan pergi, nanti keburu bubar acaranya,” ujarnya sambil merangkul kami berdua menuju pintu depan.