
Bab 1 – Pindah
Cerita Dewasa – Rahasia Kost. Namaku Randy, ABG 18 tahun, mahasiswa baru di Kalimantan. Aku baru pindah dari Timika dan tinggal di sebuah rumah kost sederhana di daerah Pontianak. Kost-an itu tidak terlalu besar, hanya dua lantai dengan 10 kamar. Tapi yang bikin menarik adalah… 8 dari 10 kamar dihuni mahasiswa perempuan.
Aku pikir ini bakal jadi awal kehidupan baru yang penuh cerita. Mungkin akan ada Rahasia di Kost ini.
Hari pertama aku pindah, aku sudah bertemu dengan beberapa penghuni kost. Mereka ramah, apalagi seorang perempuan bernama Arin. Umurnya 20 tahun, dua tahun lebih tua dariku, anak fakultas ekonomi. Rambut hitamnya panjang, tubuhnya ramping, dan wajahnya punya aura dewasa yang bikin aku kikuk kalau lama-lama menatapnya.
Dia menyapaku dengan senyum ringan waktu aku baru beres mindahin koper.
“Kamarnya di samping aku ya? Wah, siap-siap ribut deh, aku suka begadang,” katanya sambil ketawa kecil.
Aku cuma bisa senyum kaku, jantung berdebar nggak karuan.
Sejak hari itu, aku sadar: tinggal di kost ini nggak akan pernah sepi.
Bab 2 – Malam Pertama
Malam itu hujan deras. Listrik mati sebentar. Aku baru selesai mandi, rambut masih basah, dan keluar kamar hanya pakai kaos tipis. betapa sexy nya.
Pas aku mau balik ke kamar, aku melihat pintu kamar Arin terbuka sedikit. Cahaya lilin remang-remang dari dalam membuat bayangan tubuhnya terlihat di dinding. Dia sedang duduk di lantai, memeluk lutut, sambil menatap lilin itu.
“Ada apa, Kak?” tanyaku, memberanikan diri.
Dia menoleh, wajahnya diterangi cahaya temaram. “Lagi mati lampu, Randy. Aku nggak bisa tidur kalau gelap. Masuk aja, biar ada temennya.”
Aku ragu sebentar, tapi akhirnya melangkah masuk. Ruangannya wangi parfum bercampur buku. Di atas meja ada beberapa novel terbuka.
Kami duduk berdua di lantai. Hening. Hanya suara hujan deras di luar jendela.
Lalu Arin tiba-tiba berkata pelan, “Randy… kamu anak baru kan? Nanti lama-lama pasti tahu… setiap kost itu punya rahasia.”
Aku mengernyit, “Maksudnya apa, Kak?”
Dia hanya tersenyum samar, lalu memandang mataku lama sekali.
Deg.
Aku bisa merasakan jantungku berdetak keras layaknya ABG. Seolah ada sesuatu yang tidak terucap, tapi jelas terasa.
Bab 3 – Rahasia Kost yang Terbuka
Beberapa hari kemudian, rahasia di kost itu benar-benar mulai terkuak. Arin ternyata punya hubungan yang… tidak jelas dengan salah satu dosennya. Aku pernah mendengar bisikan teleponnya malam-malam. Kadang aku juga melihatnya pulang larut dengan wajah muram.
Sampai suatu malam, aku mendengar dia menangis di kamarnya.
Tanpa pikir panjang, aku mengetuk pintunya. “Kak, nggak apa-apa?”
Dia tidak menjawab. Aku dorong sedikit pintunya, dan kulihat Arin duduk di lantai dengan wajah basah air mata.
Spontan aku duduk di sampingnya, meraih bahunya. “Cerita aja ke aku, Kak. Aku di sini kok.”
Dia menoleh, lalu tiba-tiba memelukku erat. Tubuhnya hangat, aroma rambutnya menusuk hidungku.
“Randy… jangan bilang ke siapa-siapa ya. Rahasia ini cuma kamu yang tahu,” bisiknya.
Aku mengangguk pelan, sementara pelukan itu membuatku sulit bernapas—bukan karena sesak, tapi karena sesuatu yang lain… sesuatu yang baru pertama kali kurasakan.
Bab 4 – Malam Tanpa Rahasia
Malam itu suasana kost sangat sepi. Anak-anak lain sudah tidur atau pergi. Hujan masih turun deras, tapi di kamarku… aku sama sekali tidak bisa tidur. Pikiran tentang pelukan Arin semalam terus berputar di kepalaku.
Sekitar jam 11 malam, ada ketukan pelan di pintu.
Tok… tok…
Aku membuka pintu. Ternyata Arin berdiri di sana, hanya memakai kaos longgar dan celana pendek, rambutnya dibiarkan tergerai. Wajahnya tanpa make-up, tapi justru terlihat lebih cantik.
“Boleh aku masuk?” tanyanya lirih.
Aku mengangguk. Dia melangkah masuk, lalu duduk di tepi ranjangku. Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang lembut, bercampur dengan wangi hujan yang menempel di rambutnya.
Beberapa detik hening. Hanya suara hujan di luar.
“Aku nggak bisa tidur…” katanya. “Dan aku… pengen ada yang nemenin.”
Deg. Kata-kata itu membuat jantungku berdebar lebih kencang. Aku menelan ludah, mencoba tetap tenang.
Arin menoleh menatapku, matanya basah oleh emosi yang sulit kubaca. “Randy… kamu masih mau jaga rahasia ku, kan di kost ini?”
Aku menatap balik, lalu mengangguk pelan. “Iya, Kak. Aku janji.”
Dia tersenyum samar, lalu… tiba-tiba tangannya meraih tanganku. Jemarinya hangat, sedikit bergetar.
“Kalau begitu…” bisiknya, “malam ini… rahasia kita berdua aja.”
Tubuhku kaku. Tapi ketika dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, semua rasa ragu hilang. Aku balas merangkulnya. Dari situ, semuanya mengalir begitu saja.
Pelukan berubah jadi sentuhan. Tatapan berubah jadi ciuman.
Aku bisa merasakan getaran tubuh Arin ketika bibir kami akhirnya bertemu.
Dan di luar sana, hujan terus mengguyur tanpa henti, seakan menutup rapat semua suara di balik kamar kost kecil itu.
Malam itu… adalah malam di mana batas di antara kami perlahan hilang.
Bab 5 – Rasa yang Tak Bisa Disembunyikan
Setelah malam itu, suasana antara aku dan Arin berubah. Bak Abg baru puber. Kami masih bersikap normal di depan penghuni kost lain, tapi setiap tatapan atau senyum kecil seakan membawa ingatan ke malam yang sudah kami lewati.
Kadang ketika kami ketemu di dapur atau jemuran, aku bisa merasakan jantungku berdegup hanya karena tangan kami hampir bersentuhan. Arin sering pura-pura cuek, tapi aku tahu, matanya menyimpan sesuatu.
Namun, rahasia selalu punya beban.
Suatu sore, saat aku pulang kuliah, aku mendapati pintu kamarku terbuka. Arin ada di sana, sedang duduk di ranjangku sambil membaca catatanku.
“Kamu masuk tanpa izin ya?” tanyaku setengah bercanda.
Dia menoleh dan tersenyum nakal. “Kan kunci kamarmu gampang dibuka. Lagian, aku kangen.”
Aku duduk di sampingnya, mencoba menahan senyum. Tapi kemudian dia menatapku serius.
“Randy… aku takut,” katanya pelan.
“Takut apa?”
“Kalau anak-anak kost lain tahu rahasia kita di kost ini… atau dosen itu tahu kalau aku udah dekat sama kamu. Aku nggak mau kamu kena masalah.”
Aku terdiam. Memang, hubunganku dengan Arin bukan hal yang sederhana. Ada risiko, ada gosip, ada rahasia yang harus kami lindungi.
Tapi saat dia meraih tanganku lagi, aku tahu: aku rela menghadapi semua itu.
Bab 6 – Malam Rahasia di Kost
Begitu pintu kamar terkunci, Arin langsung menarikku ke pelukannya. Bibirnya menempel pada bibirku, panas dan terburu-buru, seolah semua perasaan yang ia tahan selama ini akhirnya meledak.
Tangannya meraba punggungku, menekan tubuhku makin dekat dengan tubuhnya. Aroma tubuhnya, wangi lembut bercampur keringat tipis, membuat kepalaku berputar.
Aku sempat berbisik, “Kak… kita bisa ketahuan.”
Tapi dia menatap mataku dengan pandangan penuh hasrat. “Biarin. Malam ini aku cuma mau kamu.”
Ciuman kami semakin liar. Kaos tipis yang ia kenakan tersingkap, memperlihatkan kulit putihnya yang hangat. Jari-jari tanganku gemetar menyusuri lekuk pinggangnya. Arin menggigil, tapi tidak menolak.
“Ran…” bisiknya, napasnya tersengal. “Jangan berhenti.”
Aku menurut. Kami rebah di ranjang, suara hujan di luar menutupi segala desahan dan erangan yang pecah dari bibirnya. Selimut tipis jatuh ke lantai.
Dari sini aku bisa tahu bahwa Arin itu tipe orang romantis dan lembut. Tapi tetap saja nafsunya besar. Malah dia langsung mengarahkan dan menusukkan penisku ke liang vaginanya tanpa adegan-adegan lain. Berhubung Arin masih perawan, masukkannya tidak mudah. Butuh sedikit dorongan dan tahan sakit termasuk aku juga.
Wajah Arin tampak menahan sakit.
Gigi atasnya menggigit bibir bawahnya dan matanya terpejam keras seperti makan buah mangga atau jambu asem. Tak lama, “Aaahh.. aa.. aahh..” Arin berteriak lumayan keras, aku takutnya terdengar sampai keluar. Selaput perawannya sudah tertembus. Aku mencoba menggoyangkan maju- mundur di dalam liang yang masih sempit itu.
Tapi, aku merasa sangat enak sekali senggama di liang perawan. Arin juga ikutan goyang maju-mundur sambil meraba-raba dadaku dan mencium bibirku. Ternyata benar-benar perkiraanku. Sedikit lagi aku akan ejakulasi. Mungkin hanya sekitar 7 menit. Meski begitu, keringatku pun tetap mengucur. Begitupun Arin.
Dengan agak menahan ejakulasi, gantian kurebahkan Arin, kukeluarkan penisku lalu kukocok di atas mendekati. Mungkin hasilnya masih sempit dan rapatnya menyempurnakan dara Arin, batang penisku jadi lebih mudah tergesek sehingga lebih pula ejakulasinya. Ditambah pula dalam seminggu tersebut aku tidak onani, BF, atau sebagainya. Kemudian, “Crit.. crit.. crott.” kembali kujatuhkan spermaku di tubuh orang untuk kedua kalinya. Kusemprotkan spermaku di dada dan payudaranya Arin. Kencrotan nya kali ini lebih sedikit, namun spermanya lebih kental. Bahkan ada yang sampai mengenai leher dan dagunya.
Arin yang baru pertama kali melihat sperma lelaki, mencoba tahu bagaimana rasanya menelan sperma.
Arin meraup sedikit dengan canggung dan ekspresi wajahnya sedikit tidak menyenangkan, dan menjilatnya.
Terus, Arin berkata dengan lugu, “Emm.. ee.. De.. ‘itu’ gimana sih rasanya kalo?” sambil menunjuk kejantananku yang masih berdiri tegak dan kencang. “Eh.. hmm.. cobain aja sendiri..” sambil tersenyum ia memegang batangku perlahan dan agak canggung. Tak lama, ia mulai memulai dengan mulut malu-malu karena baru pertama kali. Mungkin ia membersihkan sisa spermaku yang masih menetes di sekujur batangku itu. Kulihat sekilas di lubang vaginanya, ada noda darah yang segera kubersihkan dengan tisu dan lap. Setelah selesai, aku yang kehabisan stamina, terkulai loyo di sebelah sebelah samping ranjang, sementara Arin juga rebahan di samping. Kami sama-sama puas
Waktu terasa berhenti. Hanya ada dua tubuh yang menyatu, saling mencari, saling melepaskan diri dari segala batas.
Setiap gerakan, setiap sentuhan, terasa seperti rahasia baru yang kami ciptakan bersama—rahasia yang tak seorang pun boleh tahu.
Dan tepat saat detik-detik itu mencapai puncaknya…
Tok! Tok!
Ketukan keras di pintu membuat kami berdua terlonjak. Arin buru-buru meraih selimut, menutupi tubuhnya, wajahnya merah panik.
“Ya… sebentar!” suaranya gemetar.
Aku menahan napas, jantungku berdegup liar, tubuhku masih basah keringat.
Yang mengetuk ternyata Mbak Siti. “Rin, kamu ada di kamar? Aku mau pinjem charger sebentar.”
Arin melompat turun, cepat-cepat merapikan kaosnya. Dengan langkah gemetar, ia membuka pintu hanya sedikit, menyerahkan charger, lalu menutupnya lagi.
Begitu pintu kembali terkunci, ia menoleh ke arahku.
Kami saling pandang—dan sama-sama tertawa pelan, menertawakan betapa gilanya rahasia di kost ini.
“Untung kita sudah selesai” ungkapku
“iya, tapi tetep aja aku panik tau..” sahut Arin dengan nada lirih
Tapi dalam hati aku tahu: setelah malam ini, tak mungkin ada jalan kembali.
Bab 7 – Janji Rahasia dalam Pelukan di Kost
Setelah hampir ketahuan tadi, kami hanya bisa duduk berdua di lantai, tubuh masih saling menempel, selimut tipis membungkus seadanya. Nafas kami masih terengah, wajah Arin merah, rambutnya acak-acakan tapi justru terlihat semakin menggoda.
Dia menatapku lama, matanya bergetar.
“Randy… kita gila. Tapi aku nggak bisa berhenti. jaga ya rahasia kita di kost ini.”
Aku menyentuh pipinya, ibu jariku mengusap lembut kulitnya yang hangat. “Aku juga. Meski bahaya, aku nggak nyesel.”
Arin menunduk, lalu meraih tanganku, menaruhnya di dadanya yang masih berdebar kencang. “Kamu dengar? Ini… cuma buat kamu sekarang.” kayak abg abg SMA gitu haha
Aku menunduk, mencium lehernya pelan. Tubuhnya bergetar halus. Dari pelukan kembali jadi ciuman, lalu lagi-lagi kami terhanyut dalam hasrat yang tidak bisa ditahan.
Malam itu, kami saling memberikan diri sepenuhnya. Tidak ada batas. Tidak ada kata cukup. Hanya suara hujan di luar dan detak jantung yang berpacu.
Bab 8 – Rasa yang Tak Bisa Disembunyikan
Hari-hari setelah malam itu, suasana jadi berbeda. Kami masih harus pura-pura biasa di depan penghuni kost lain, tapi setiap tatapan, setiap senyum kecil, rasanya seperti kode rahasia.
Di dapur, saat tanganku tak sengaja menyentuh tangannya, Arin menggigil sebentar lalu tersenyum malu.
Di balkon jemuran, ketika angin sore meniup rambutnya ke wajahku, aku menahannya sejenak lebih lama dari seharusnya.
Tapi perlahan, aku mulai sadar: menyimpan rahasia sebesar ini tidak mudah.
Suatu malam, Arin menangis dalam pelukanku.
“Kalau suatu hari rahasia ini terbongkar, aku takut kamu disalahkan, Ran. Aku lebih tua, aku perempuan, orang pasti nuduh aku yang godain kamu.”
Aku meraih wajahnya, menatap dalam.
“Biar aku yang tanggung. Aku yang pilih jalan ini. Jangan pernah nyalahin dirimu.”
Dia terisak, lalu menciumku penuh emosi, bukan sekadar gairah, tapi juga cinta yang campur aduk dengan rasa takut.
Bab 9 – Malam Terakhir Rahasia Kost
Waktu berjalan cepat. Semesterku hampir selesai, dan aku harus pindah kost karena alasan kuliah. Malam terakhir di sana, Arin datang ke kamarku.
Dia tidak banyak bicara, hanya duduk di pangkuanku, wajahnya menempel di leherku.
“Mungkin besok kamu pergi… tapi malam ini, aku nggak mau ada penyesalan,” bisiknya.
Malam itu lebih panas daripada sebelumnya. Tidak ada jeda, tidak ada rasa ragu. Kami saling menyatu berkali-kali, seakan ingin mengabadikan semua rasa dalam tubuh masing-masing.
Suara hujan kembali turun, sama seperti malam pertama kami. Dan aku sadar, seakan hujan memang jadi saksi rahasia kami.
Epilog – Rahasia Kost yang Tetap Hidup
Pagi itu aku meninggalkan kost dengan koper kecil dan hati yang berat. Arin tidak mengantarku sampai depan, kami hanya berpelukan lama di kamarnya.
“Aku nggak tahu kita bakal ketemu lagi atau nggak,” katanya, matanya berkaca-kaca.
Aku menunduk, mengecup bibirnya sekali lagi. “Rahasia ini… nggak akan pernah hilang.”
Dan aku pergi, meninggalkan kost itu dengan kenangan yang tidak akan pernah bisa kuganti dengan apa pun.
Setiap kali hujan turun, aku masih bisa merasakan hangat pelukan Arin, suara desahnya, tatapan matanya yang penuh cinta sekaligus ketakutan.
Rahasia itu tetap hidup.
Di antara aku, Arin, dan malam-malam yang tak pernah benar-benar bisa dilupakan.
Selesai.