
Jejak Rahasia
Bab 1 – Pertemuan
Cerita dewasa – Sore itu, aku bertemu Nadya di lorong kampus Universitas Indonesia. Rambut hitam panjangnya tergerai, matanya teduh, tapi di balik tatapan itu ada sesuatu yang sulit kubaca. Sejak pertama kali melihatnya, aku merasa ada yang berbeda.
Entah kenapa, dari senyum tipisnya aku merasa seolah sedang diajak masuk ke dalam jejak rahasia yang belum pernah kususuri.
Kami mulai sering bertemu. Ngobrol ringan, berbagi cerita. Tapi setiap kali dia tertawa, aku bisa merasakan ada beban yang ia sembunyikan. Seperti ada dinding tak kasat mata yang membatasi, namun juga mengundangku untuk melewatinya.
Itulah awal mula aku mengikuti jejak rahasia Nadya—jejak yang perlahan membawaku pada sesuatu yang lebih dalam.
Bab 2 – Malam Pertama Jejak Rahasia
Hujan deras malam itu membuat kami terjebak di ruang baca kampus. Lampu redup, hanya suara hujan yang menemani. Nadya duduk di sampingku, jarak kami begitu dekat.
“Aku nggak suka hujan,” katanya lirih.
“Kenapa?” tanyaku.
Dia tersenyum samar. “Soalnya hujan selalu ninggalin jejak rahasia yang susah dihapus.”
Aku terdiam. Kalimat itu entah kenapa terasa mengikatku. Saat itu, tanpa sadar tanganku menyentuh tangannya. Hangat. Dia tidak menolak.
Malam itu, kami berbicara lama. Tentang masa lalu, tentang luka, tentang keinginan yang tak pernah terucap. Dan di sela-sela percakapan, aku semakin yakin: Nadya bukan sekadar perempuan yang kutemui di lorong. Dia adalah awal dari jejak rahasia yang akan mengubah hidupku.
Bab 3 – Sentuhan
Beberapa minggu setelahnya, aku mengantar Nadya pulang ke kostnya. Saat sampai, listrik padam. Gelap. Hanya cahaya ponsel yang redup.
“Masuk dulu aja, hujan masih deras,” katanya.
Aku pun masuk. Di dalam kamar kecil itu, aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. Nadya duduk di tepi ranjang, lalu menatapku lama.
“Aku capek pura-pura kuat, Rak,” bisiknya.
Aku mendekat, memegang tangannya. Dan untuk pertama kali, kami berciuman. Ciuman lembut, tapi penuh dengan rasa yang selama ini dipendam.
Di balik ciuman itu, aku tahu aku baru saja meninggalkan jejak rahasia pertama di hidup Nadya—dan dia juga meninggalkan jejak dalam diriku.
Bab 4 – Malam Tanpa Cahaya
Listrik masih padam. Hujan masih deras. Di kamar kost yang sempit itu, kami berdua duduk saling berhadapan. Nafas Nadya memburu, matanya berkaca-kaca.
“Aku takut…” katanya lirih.
“Takut apa?” tanyaku.
“Ya takut kalau semua ini cuma sementara. Takutnya jejak kita hilang begitu aja.”
Aku meraih wajahnya, menatap dalam. “Selama aku di sini, jejak kita nggak akan hilang. Kita akan simpan semuanya sebagai jejak rahasia kita berdua.”
Kata-kata itu membuat Nadya terisak, lalu ia meraihku dalam pelukan erat. Dari pelukan menjadi ciuman. Dari ciuman menjadi sentuhan yang semakin panas. Malam itu, tubuh kami saling mencari, saling memberi. Dalam kegelapan, kami menorehkan jejak rahasia yang tak akan pernah bisa terhapus.
Bab 5 – Jejak Luka dalam Rahasia Tersembunyi
Hari-hari berikutnya, kami kembali ke rutinitas. Tapi hubungan kami tidak lagi sama. Ada tatapan, ada senyum samar, ada bisikan singkat saat tidak ada orang.
Namun, aku mulai merasakan sesuatu yang lain dari Nadya. Ada saat-saat ia tiba-tiba murung, menatap jauh keluar jendela.
Suatu sore, ia akhirnya bercerita. Tentang cinta lamanya yang hancur, tentang janji-janji palsu yang meninggalkan luka.
“Aku nggak mau jatuh di lubang yang sama, Rak. Tapi entah kenapa, sama kamu aku nggak bisa berhenti.”
Aku menggenggam tangannya. “Nadya, luka itu memang ada. Tapi kita bisa bikin cerita baru. Biar jejak masa lalu terkubur, dan kita bikin jejak rahasia kita sendiri.”
Dengan tersenyum-senyum cabul, Raka langsung merabai payudara Nadya. Ditariknya hingga ia jatuh terduduk diatas kasur. Raka dengan lembut menjawil puting susu Nadya dari balik bra.
“Eghmmm..” Nadya menahan bibirnya rapat-rapat agar tidak kelepasan mendesah. Raka tentu tak akan pikir dua kali untuk memanfaatkan Nadya habis-habisan. Kini dua telunjuk Raka bermain di kedua puting susu Nadya yang kenyal. Nadya tetap berusaha cool duduk di tepi ranjang. Raka beralih kebelakang Nadya, dan mulai mencubit pelan dan memuntir-muntir puting Nadya lembut. Untunglah pikir Nadya, karena Raka jadinya tidak bisa melihat ekspresinya yang mulai agak terpejam-pejam dimainkan putingnya oleh Raka.
Raka terus memancing desahan Nadya untuk keluar. Dari posisi belakang, Raka dengan diam-diam kembali menciumi leher Nadya penuh nafsu.
Nadya tak kuasa menggelinjang merinding dikala Raka mempermainkan tubuhnya seperti itu. Secara naluriah Nadya melingkarkan lengannya kebelakang merangkul leher Raka. Raka begitu girang melihat gelinjang manja tubuh Nadya dipelukannya. Selama ini dia hanya bisa bermimpi bercinta dengan wanita lebih tua, dan sekarang khayalannya jadi kenyataan, apalagi dengan Nadya yang seksi dan menjadi imajinasi onaninya selama ini.
“Mhhmm.. Rak, gila ah geli banget gue….” ceracau Nadya dalam kenikmatan.
Raka dengan giatnya terus mencubit, menjawil, mengusap, dan menarik puting Nadya yang makin kenyal. Lidahnya menari-nari dileher dan kuping Nadya membuatnya bergetar keasyikan. Nadya tak habis pikir bagaimana Raka ini bisa mencumbuinya sebegitu hebat.
Kemudian secara perlahan sebelah tangan Raka merayap kebawah dan membelai paha Nadya. Nadya yang sudah tipis kesadarannya hanya mengikuti bimbingan tangan Raka untuk membuka kedua pahanya. Raka mendesis gemas merasakan hangat dan basahnya celana dalam Nadya. Nadya menoleh kearah Raka dan segera memagut bibir Raka penuh nafsu ketika jemari Raka merabai kemaluannya lembut.
“Ahh.. anget banget. Enak ya dimainin Raka?” tanya Raka mesra.
Nia menjawab dengan pagutan yang sangat mesra di bibir Raka sembari badannya menggigil merinding ketika Raka terus menjamahi kemaluannya. Raka yang juga sudah gemas menelusupkan tangannya masuk kedalam celana dalam Nadya. Nadya yang kalap menjambak rambut Raka dan menciumnya makin dalam ketika jemari Raka mengusap bibir vagina Nadya yang berlendir.
“Ssshh.. Itilnya Rak, itilnya mainin plis..” Mohon Nadya.
“Ini yah? Ini kan? Hmmm?”
“Aggghhh rakkk….”
Nadya meringis penuh kenikmatan sewaktu ujung jari tengah Raka menelusup diantara celah vaginanya dan mencolek tonjolan berkerudung di sudut atas kemaluannya. Badan Nadya bergetar seakan dialiri listrik dari ujung kepala hingga ujung kaki manakala Raka menjawili mesra klitoris Nadya. Kini bahkan kedua kaki Nadya berjinjit mengangkang di pinggir kasur membuat Raka makin leluasa mengerjainya.
“Ahmmm… gila rak enak bangettt.. Terusin rakk… colokin terus memek gue rakkk…”
Raka segera memasukkan jari tengahnya kedalam rongga kemaluan Nadya. Sangking basahnya dengan mudah jari Raka menelusup masuk. Raka baru kali itu merasakan bentuk isi vagina. Sungguh licin, berdaging, dan tentu saja basah. Raka mengorek-ngorek penuh rasa ingin tahu isi dalam vagina Nadya.
Kini posisi mereka berdua kembali berpindah, Nadya merebahkan diri diatas
kasur mengangkang sementara Raka diantara kedua kakinya terus mengorek- ngorek vagina Nadya.
“Rakkk.. Gilaa…rakk…auhh terus rakk…. Mhmhh..”
Nadya merengek-rengek liar ketika Raka memasukkan jari kedua kedalam vagina Nadya dan kemudian menyeruput klitoris Nadya dengan sedapnya.
“Shrrrrppppppptttt….”
Nadya menggelinjang binal dibuatnya. Disodok-sodokannya jari Raka kedalam vagina Nadya dengan beringas.
Dia menatapku lama, lalu mengangguk. Saat itu aku tahu, kepercayaannya padaku semakin dalam.
Bab 6 – Nyaris Ketahuan
Suara ketukan pintu membuat kami terlonjak. Nadya buru-buru merapikan seragam-nya, wajahnya tegang. Aku menahan napas, bersembunyi di balik lemari.
“Nad? Kamu di kamar? Aku mau pinjam catatan,” suara temannya terdengar dari luar.
Dengan suara bergetar, Nadya menjawab, “I-iya, bentar.”
Ia mengambil buku di meja, membuka pintu sedikit, lalu cepat menutupnya kembali. Begitu pintu terkunci, ia menoleh ke arahku—mata panik berubah jadi senyum nakal.
“Gila, hampir aja ketahuan,” bisiknya.
Aku keluar dari persembunyian, menatapnya. Darahku masih berdesir. Ketegangan itu justru membuat kami berdua semakin ingin. Kami tertawa pelan, lalu saling berpelukan lagi. Nafasnya panas di leherku, jemariku merayap ke pinggangnya.
“Rak, ini gila… tapi aku nggak mau berhenti,” desahnya.
Kami hanyut lagi. Setiap sentuhan terasa lebih berani, karena kami tahu betapa berbahayanya jejak rahasia ini kalau sampai terbuka.
Bab 7 – Malam Terakhir
Hari itu aku harus berkemas. Besok aku pindah ke kota lain. Nadya datang diam-diam ke kamarku malam itu.
Ia duduk di pangkuanku tanpa banyak bicara. Matanya berair. “Kalau kamu pergi… jangan biarin jejak kita hilang, Rak.”
Aku menatapnya lama. “Jejak kita nggak akan pernah hilang. Kita simpan semuanya sebagai jejak rahasia kita.”
Kata-kata itu membuatnya menunduk, lalu bibirnya menemukan bibirku. Ciuman kami liar, penuh rasa takut kehilangan. Jemarinya meremas bahuku, tubuhnya menempel erat.
Blouse-nya terlepas satu per satu kancingnya. Kulit hangatnya menempel di dadaku. Keringat, nafas, degup jantung—semuanya berpacu. Di kamar kost sempit itu, hanya ada suara hujan di luar dan desahan kami.
Malam terakhir itu bukan sekadar pelukan. Kami seperti berusaha menulis kenangan terakhir di tubuh masing-masing. Setiap ciuman jadi tanda, setiap belaian jadi catatan. Malam yang dingin di luar, berubah jadi bara di dalam kamar.
Epilog – Jejak Rahasia
Pagi harinya, aku melangkah pergi dengan koper kecil. Nadya tidak mengantarku sampai depan. Kami hanya berpelukan lama di kamarnya.
“Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi,” katanya pelan, suaranya bergetar.
Aku mengecup keningnya, menahan segala gejolak. “Jejak rahasia kita tetap hidup, Nad. Sampai kapan pun.”
Aku keluar, meninggalkan kost itu. Di jalan, hujan masih turun deras. Setiap tetesnya mengingatkanku pada malam-malam kami: pelukan di gelap, tawa yang tertahan, bisikan di telinga. Ada cinta yang hanya bisa hidup dalam diam. Dan cinta itu, bagiku dan Nadya, akan selalu terpatri sebagai jejak rahasia.