
Bab 1 – Villa di Puncak: Kabut Pertemuan
Udara dingin menggigit saat Garry menurunkan koper dari bagasi mobil. Kabut tipis menyelimuti jalan setapak menuju villa di puncak yang berdiri megah di antara pepohonan pinus. Suasana sepi, hanya terdengar suara serangga malam yang bersahutan namun senyap kala itu.
Villa itu milik salah satu sahabat lamanya. Mereka berencana menghabiskan akhir pekan bersama, sekadar melepas penat dari rutinitas. Namun, kejutan terjadi ketika pintu terbuka dan sosok yang berdiri di sana adalah Celine—perempuan yang dulu hanya dikenalnya sepintas saat reuni.
Rambut panjangnya tergerai, kulitnya pucat bersinar diterpa lampu kuning hangat. “Oh, jadi kamu juga ikut?” tanyanya, tersenyum tipis.
Garry terdiam sepersekian detik. “Sepertinya ini akan jadi akhir pekan yang panjang,” gumamnya dalam hati.
Bab 2 – Api dan Tatapan
Malam pertama di villa, sebagian besar teman-teman mereka memilih tidur lebih awal. Angin dingin menusuk, membuat perapian jadi tempat paling nyaman. Garry duduk di sofa, menyulut api, lalu menatap nyala merah yang menari.
Tak lama kemudian, Celine muncul dengan sweater tipis dan segelas cokelat panas. Ia duduk tak jauh, hanya terpisah meja kecil. Cahaya api memantulkan kilau di matanya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Garry basa-basi.
“Baru sekali. Tetapi dinginnya bikin betah… asal ada yang nemenin,” jawab Celine sambil menatap lurus, sorotnya mengandung sesuatu yang tak biasa.
Tatapan itu membuat Garry sulit mengalihkan pandangan. Ada api lain selain yang berkobar di perapian—api yang tumbuh diam-diam di dada.
Bab 3 – Hujan Membawa Rindu
Hujan deras turun sepanjang sore keesokan harinya. Angin meniup tirai, membuat udara di dalam villa semakin dingin. Sebagian teman mereka keluar sebentar membeli persediaan, meninggalkan Garry dan Celine hanya berdua.
Celine berdiri di depan jendela besar, matanya mengikuti butir air yang menetes. “Aku suka hujan,” katanya pelan.
“Kenapa?” Garry kemudian mendekat, berdiri di sampingnya.
“Karena selalu ada rasa rindu yang dibawa,” jawabnya, lalu menoleh dengan senyum samar.
Hening sejenak. Suara hujan seperti irama yang menegaskan jarak mereka semakin dekat. Saat Garry menatapnya lebih lama, Celine menunduk—namun tidak menjauh. Rindu yang ia maksud ternyata sudah menyusup ke dalam ruangan, menjebak mereka berdua.
Bab 4 – Dekap Pertama
Malamnya, listrik sempat padam. Hanya cahaya lilin kecil di meja makan yang menerangi. Suasana menjadi intim, tenang, namun penuh ketegangan samar.
Celine duduk di kursi panjang, memeluk lututnya. Garry mengambil selimut dari sofa, lalu mendekat. “Kamu kedinginan?” tanyanya.
“Sedikit,” jawabnya dengan suara hampir berbisik.
Selanjutnya tanpa pikir panjang, Garry duduk di sampingnya dan menyampirkan selimut itu ke bahu mereka berdua. Tubuh mereka bersentuhan, jarak lenyap begitu saja.
Celine mengangkat wajah, mata mereka bertemu. Saat itu juga, Garry meraih tangannya. Dekapan pertama terjadi—hangat, erat, seakan sejak lama mereka menunggu momen ini.
Bab 5 – Villa di Puncak: Malam yang Menggoda
Waktu terasa berhenti. Hanya detak jantung yang saling berpacu di antara mereka. Garry merasakan aroma rambut Celine yang harum, wajahnya begitu dekat. Tanpa ragu, bibirnya menyentuh bibir Celine, lembut namun penuh hasrat.
Celine sempat terkejut, tapi balasannya begitu dalam, seakan ia pun sudah lama menahan keinginan. Ciuman mereka semakin intens, bergulir dari ragu menjadi api yang membakar.
“Garry…” suaranya lirih di sela nafas.
“Hm?”
“Jangan berhenti.”
Malam itu terasa panjang. Di luar, hujan semakin deras, namun di dalam villa hanya ada suara napas yang berat, gesekan tubuh, dan bisikan penuh rahasia. Villa di Puncak menjadi saksi bisu malam menggoda yang tak akan pernah mereka lupakan.
Bab 6 – Rahasia di Balik Selimut
Pagi menjelang, namun rahasia malam itu tetap terjaga di balik selimut. Celine berbaring dengan kepala bersandar di dada Garry. Hangat tubuh mereka melawan dinginnya udara pegunungan.
“Aku nggak nyangka… semua bisa terjadi secepat ini,” kata Celine pelan.
“Aku juga nggak,” jawab Garry, sambil membelai rambutnya. “Tapi jujur, aku nggak menyesal.”
Celine tersenyum kecil, kemudian menutup mata. Mereka tahu hubungan ini tidak semudah yang terlihat. Ada teman-teman mereka dan selain itu aada dunia luar yang akan menuntut penjelasan. Tapi di villa itu, hanya ada mereka berdua dan rahasia yang ingin terus mereka simpan.
Bab 7 – Villa di Puncak: Pagi dan Janji
Saat matahari mulai naik, kabut perlahan menyingkir. Villa kembali terang, penuh suara tawa teman-teman yang baru datang dari pasar. Tetapi tidak ada yang menyadari apa yang terjadi semalam.
Garry dan Celine saling bertukar pandang, tersenyum samar. Di antara hiruk-pikuk, ada janji tak terucap: janji untuk menjaga yang mereka temukan di Villa di Puncak.
Karena di tempat tinggi itu, di tengah dingin dan kabut, mereka menemukan sesuatu yang lebih hangat dari sekadar api perapian—pelukan yang membuat mereka tersesat namun enggan kembali.
Bab 8 – Bayangan Kota
Hari terakhir di villa akhirnya tiba. Kabut pagi berganti cahaya matahari yang menembus sela pepohonan. Garry dan Celine berdiri di beranda, menatap pemandangan yang seolah tak ingin dilepaskan.
“Besok semua kembali normal, ya?” ucap Celine, suaranya lembut namun terasa getir.
“Normal?” Garry menoleh. “Setelah semua yang terjadi di Villa di Puncak, menurutmu kita bisa kembali benar-benar normal?”
Celine diam. Matanya menatap jauh, tapi tangannya meraih jemari Garry diam-diam, di balik railing kayu. Sentuhan itu singkat, namun cukup untuk membuat jantung Garry berdebar lagi.
Saat mobil menuruni jalan berliku menuju kota, keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran. Villa di Puncak kini hanya tinggal bayangan—tapi bayangan nya setelah itu membekas terlalu dalam.
Bab 9 – Rahasia di Tengah Ramai
Hari-hari berikutnya di kota berjalan cepat. Garry kembali ke rutinitas kerja, rapat, deadline, dan kopi hitam tiap pagi. Sementara Celine sibuk dengan dunianya sendiri.
Namun, setiap ada notifikasi pesan di ponsel, Garry merasakan debar aneh. Dan hampir selalu, itu dari Celine.
“Aku kangen udara dingin itu.”
“Rasanya masih bisa mencium aroma kayu terbakar dari perapian.”
“Aku rindu kamu.”
Mereka bertemu diam-diam. Kadang di café, kadang hanya sekadar berjalan di mall, duduk berdekatan sambil pura-pura teman biasa. Tapi tatapan mata mereka menyimpan rahasia yang tak bisa orang lain baca.
“Kalau ada yang tahu tentang malam kita di Villa di Puncak, apa yang akan terjadi?” tanya Celine sekali waktu, sambil mengaduk minuman dinginnya.
“Yang penting, hanya kita berdua yang tahu. Dan itu cukup,” jawab Garry dengan suara pelan tapi mantap.
Bab 10 – Villa di Puncak: Malam Rahasia Kembali
Suatu akhir pekan, hujan turun deras di kota. Kemudian Garry menerima pesan singkat:
“Aku di hotel dekat bundaran, kamar 708. Kalau berani, datanglah.”
Tanpa banyak pikir, Garry meluncur. Begitu pintu terbuka, Celine sudah menunggunya—dengan tatapan yang sama seperti di Villa di Puncak.
“Sepertinya kita membawa Villa itu ke sini,” bisik Celine, kemudian menarik Garry masuk.
Malam itu kembali menjadi milik mereka. Hujan di luar jendela hotel mengingatkan pada kabut dan dinginnya pegunungan. Hanya saja kali ini, tak ada perapian—yang ada hanyalah api di tubuh mereka yang kembali menyala.