
Liburan Bernuansa Seksual
Bagian 1 – Benih di Tengah Liburan
Bab 1 – Awal Perjalanan
Liburan Bernuansa Seksual – Cerita Dewasa – DJ Bravy menutup pintu mobil sewaan yang ia kendarai dengan senyum puas. Udara pantai yang masih tercium dari kejauhan membuatnya lebih bersemangat. Di kursi samping, Erika sibuk membuka kacamata hitamnya lalu merapikan rambut panjang yang terurai.
“Masa iya kita beneran cuma berdua aja, Brav?” tanya Erika dengan nada menggoda.
Bravy melirik, senyum nakal mengembang. “Kalau rame-rame, nggak seru. Liburan gini justru lebih asik berdua.”
Erika hanya mendengus kecil, tetapi pipinya sedikit memerah. Mobil melaju menuju Danoya Villa Seminyak di atas bukit yang sudah disewa. Dari balik kaca, pemandangan laut biru terbentang luas—seakan jadi latar khusus untuk cerita yang baru akan dimulai.
Bab 2 – Villa di Atas Bukit
Villa itu sederhana tetapi mewah. Ada balkon besar menghadap laut, kolam renang pribadi, dan kamar tidur dengan ranjang king-size. Erika langsung berlari kecil ke balkon, membuka kedua tangannya sambil menghirup udara asin laut.
“Gila, ini indah banget!” serunya.
Bravy berdiri di belakangnya, memperhatikan tubuh Erika yang diterpa angin sore. Gaun tipis yang ia kenakan sedikit menempel, memperlihatkan lekuk tubuhnya samar-samar.
Erika menoleh, mendapati tatapan Bravy yang terlalu lama. “Kenapa liatinnya gitu?” godanya sambil menyipitkan mata.
Bravy mengangkat bahu. “Ya… siapa suruh cantik banget.”
Erika terkekeh, kemudian masuk lagi ke kamar, pura-pura tak terpengaruh padahal jantungnya berdegup cepat.
Bab 3 – Liburan Bernuansa Seksual – Malam Pertama, Gelas Pertama
Malamnya, mereka duduk di tepi kolam dengan botol wine. Lampu-lampu kecil di sekitar villa membuat suasana intim.
Erika sudah sedikit mabuk, pipinya merona. “Brav, tau nggak… aku jarang banget liburan kayak gini. Apalagi… ditemenin cowok yang…” Ia berhenti sebentar, menatap Bravy dengan senyum samar. “… bikin deg-degan.”
Bravy terkekeh, ikut meneguk minumannya. “Kamu yang bikin aku deg-degan, Rik.”
Keheningan singkat tercipta. Mereka saling menatap lebih lama dari biasanya. Gelombang laut terdengar dari kejauhan, seakan jadi musik pengiring.
Erika akhirnya mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk dengan gelasnya. Tetapi getaran itu jelas terasa.
Bab 4 – Liburan Bernuansa Seksual – Sentuhan di Balkon
Setelah beberapa jam, Erika berdiri di balkon dengan angin malam menerpa kulitnya. Bravy ikut berdiri di belakangnya.
Tanpa sadar, jarak mereka begitu dekat. Kemudian ketika Erika hendak menyingkirkan rambut yang menempel di wajah, tangannya bersentuhan dengan tangan Bravy.
Mereka sama-sama terdiam. Erika tidak menarik diri, hanya menoleh perlahan. Pandangan mereka terkunci.
Bravy mendekat sedikit, cukup untuk membuat Erika bisa merasakan hangat napasnya di leher. “Erika…” suaranya berat.
Erika menutup mata sesaat, tubuhnya bergetar kecil. “Brav…” bisiknya hampir tak terdengar.
Momen itu membuat udara semakin panas, meski angin malam berhembus kencang.
Bab 5 – Degupan yang Tak Bisa Bohong
Malam semakin larut. Mereka kembali duduk di ruang tamu villa, tetapi suasana sudah berbeda. Setiap percakapan terasa lebih personal, setiap tawa lebih dekat, dan setiap diam lebih sarat makna.
Erika akhirnya menyandarkan kepalanya di bahu Bravy. “Boleh kan?” tanyanya pelan.
Bravy menatapnya, menahan degupan jantung yang keras. “Boleh banget.”
Hening lagi, tetapi kali ini bukan canggung. Lebih seperti… dua jiwa yang akhirnya menemukan alasan untuk berhenti menahan diri.
Bagian 2 – Api yang Menyala
Bab 6 – Liburan Bernuansa Seksual – Pagi yang Menggoda
Matahari pagi menembus tirai kamar. Erika membuka mata lebih dulu, lalu melihat Bravy masih tidur di sofa, tak jauh dari ranjang. Semalam, mereka sama-sama kecapekan ngobrol sampai subuh.
Erika berdiri, lalu dengan iseng mengambil kamera polaroid kecil yang dibawanya. Ia mengarahkan ke Bravy yang masih terlelap. Klik! Suara shutter membuat Bravy tersentak bangun.
“Kamu ngapain sih?” Bravy mengusap wajahnya, setengah sadar.
Erika hanya terkikik. “Mau nyimpen kenangan… siapa tau kamu nggak ada lagi nanti.”
Bravy bangkit, mendekat, lalu meraih kamera dari tangan Erika. “Kalo gitu, aku juga harus punya foto kamu.”
Ia mengarahkan kamera ke wajah Erika yang baru bangun tidur, rambut berantakan, tetapi justru terlihat sangat natural dan cantik. Erika menutup wajahnya dengan tangan, tapi tetap tersenyum malu.
Momen itu sederhana, tetapi justru terasa sangat intim.
Bab 7 – Kolam Renang Tengah Hari
Siang harinya, Erika mengganti pakaian dengan swimsuit yang simpel tetapi pas di tubuh. Bravy sempat kehilangan kata-kata ketika melihatnya keluar dari kamar.
“Jangan liatin gitu, Brav,” Erika menegur dengan tawa kecil.
Bravy pura-pura batuk. “Salah sendiri keluar tiba-tiba… bikin kaget.”
Mereka berenang bersama di kolam villa. Tawa, cipratan air, dan permainan kecil membuat suasana jadi lepas. Tetapi saat Bravy membantu Erika naik dari kolam, tangannya tanpa sengaja menyentuh lebih lama dari seharusnya di pinggangnya.
Erika menatapnya, diam beberapa detik, lalu hanya tersenyum tipis. Senyum yang justru membuat Bravy semakin tak bisa berpaling.
Bab 8 – Liburan Bernuansa Seksual – Dapur dan Dekapan
Sore itu, Erika mencoba memasak mie instan di dapur villa. Bravy menghampiri dari belakang, pura-pura ingin ikut membantu.
“Tinggal tuang bumbu, Brav. Kamu tuh cuma bisa ngerecokin,” kata Erika sambil terkekeh.
Namun, saat ia menoleh, tubuhnya justru nyaris menempel dengan tubuh Bravy yang berdiri terlalu dekat. Aroma tubuhnya bercampur dengan aroma bawang goreng dan panas uap air, membuat udara seketika jadi berbeda.
Tanpa sadar, Bravy menyentuh lengan Erika, lalu berbisik, “Aku beneran nggak bisa diem kalo deket kamu.”
Erika terdiam, hanya menatap dalam. Degup jantungnya terasa sampai telinga.
Bab 9 – Malam di Api Unggun Kecil
Malam berikutnya, mereka menyalakan api unggun kecil di halaman villa. Angin malam, suara laut, dan percikan api membuat suasana semakin intim.
Erika duduk dengan selimut, lalu Bravy ikut duduk di sebelahnya. Mereka berbagi selimut, bahu bersentuhan, dan tatapan yang sulit dialihkan.
“Aku takut…” Erika akhirnya bicara.
“Takut apa?”
“Takut kita terlalu jauh, dan nggak bisa balik lagi.”
Bravy menatapnya serius. “Aku nggak peduli sejauh apa, Rik. Yang penting, aku sama kamu.”
Kata-kata itu membuat Erika menunduk, lalu perlahan menyandarkan kepalanya ke dada Bravy. Dan untuk pertama kalinya, Bravy berani membalas dengan mengecup keningnya.
Bab 10 – Malam yang Mengikat
Erika duduk di tepi ranjang, jari-jarinya gelisah meremas sprei putih yang sudah berantakan. Cahaya lampu temaram membuat kulitnya berkilau lembut, seolah sengaja memancing keberanian Bravy.
“Bravy…” suaranya pelan, hampir seperti desahan yang tertahan.
Bravy menghentikan langkahnya, kemudian menatap mata Erika yang bergetar antara ragu dan ingin.
“Apa?” suaranya rendah, serak, menahan sesuatu yang bergolak di dadanya.
Erika menarik napas dalam. “Aku nggak tahu… apa kita masih bisa balik kalau malam ini benar-benar terjadi.”
Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Bravy mendekat perlahan, lalu duduk di hadapannya. Tangannya menggeser helaian rambut yang menutupi pipi Erika, jemarinya berhenti di dagu perempuan itu.
“Kenapa harus balik?” bisiknya, begitu dekat sampai hangat napasnya terasa. “Aku justru pengin kita tenggelam… makin dalam, sampai nggak ada jalan keluar.”
Mata Erika membesar, tubuhnya menegang sesaat—lalu luluh. Ia tak lagi berkata-kata, hanya menutup mata ketika Bravy menunduk.
Dan ketika bibir mereka akhirnya bersatu, bukan hanya sekadar ciuman. Itu adalah janji diam-diam, sebuah ikatan yang mengikat lebih kuat daripada kata-kata. Dunia di luar villa memang tidak hilang… tetapi terasa tak pernah ada.
Bagian 3 – Gelombang Terakhir
Bab 11 – Liburan Bernuansa Seksual – Tubuh dalam Pelukan
Ciuman yang dimulai dengan ragu berubah jadi deras, tak terkendali. Bravy mendorong Erika perlahan ke ranjang, tubuh mereka kini hanya dipisahkan tipis-tipis oleh pakaian tipis liburan.
“Brav…” bisik Erika dengan napas tersengal.
“Ya?”
“Jangan berhenti.”
Tangan Bravy menyusuri rambut, leher, hingga pinggang Erika. Tubuh mereka beradu, hangat bercampur dengan desir liar yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Malam itu, pelukan mereka bukan sekadar sentuhan, tetapi pelepasan diri yang sudah lama terkunci.
Bab 12 – Gelombang di Tengah Malam
Jam dinding menunjukkan lewat tengah malam. Hanya ada suara ombak dari kejauhan, dan desah napas dua insan yang tenggelam dalam pusaran gairah.
Erika menggenggam tangan Bravy, seakan takut ia akan pergi. “Aku… nggak nyangka bisa sejauh ini.”
Bravy menempelkan keningnya di kening Erika. “Aku juga nggak nyangka. Tetapi aku nggak nyesel.”
Mereka saling mengeksplorasi dengan penuh rasa, seperti dua orang yang baru belajar bahasa tubuh masing-masing. Namun tiap desahan, tiap helaan napas, menjadi musik sensual yang hanya mereka berdua yang bisa dengarkan.
Bab 13 – Liburan Bernuansa Seksual – Pagi yang Mengikat
Pagi berikutnya, Erika terbangun dengan kepala masih di dada Bravy. Selimut kusut, tubuh terasa lelah tetapi hatinya penuh.
Bravy membuka mata, lalu tersenyum melihat wajahnya begitu dekat. “Pagi, cantik.”
“Pagi juga…” Erika tersipu, mencoba menutupi wajah dengan selimut.
Mereka tertawa kecil, lalu tanpa banyak kata, Bravy menariknya lagi ke pelukan. Tidak ada canggung, hanya perasaan hangat yang sulit diungkapkan.
Di luar, matahari naik perlahan, tetapi di dalam villa, waktu terasa berhenti.
Bab 14 – Ombak dan Janji
Hari terakhir liburan, mereka berjalan di tepi pantai. Ombak menyapu kaki, angin laut membawa aroma asin yang menenangkan.
Erika menggenggam tangan Bravy lebih erat. “Setelah ini… kita balik ke dunia nyata.”
Bravy menatapnya. “Aku tau. Tetapi Rik… apa pun yang terjadi, aku nggak akan pura-pura lupa sama kamu.”
Erika berhenti, menatapnya dalam. “Kalau aku minta kamu janji… jangan pernah biarin aku ngerasa sendirian lagi, kamu berani?”
Bravy mendekat, mengecup bibirnya pelan. “Berani. Bahkan kalau dunia nolak, aku tetep milih kamu.”
Bab 15 – Gelombang Terakhir
Malam terakhir di villa. Mereka berbaring berdampingan, lampu dimatikan, hanya ditemani suara laut. Tetapi justru dalam kegelapan itu, api di antara mereka kembali menyala lebih besar dari sebelumnya.
Kali ini tak ada ragu, tak ada penahanan. Mereka melepaskan semuanya—rasa ingin, rasa sayang, dan rasa takut—jadi satu.
Desahan Erika berpadu dengan bisikan Bravy, tubuh mereka menyatu seperti gelombang yang tak henti menghantam pantai menikmati seks yang padu. Hingga akhirnya, klimaks itu datang bagai badai, menghempas habis-habisan.
Setelahnya, mereka terbaring lelah, tetapi bahagia. Erika mencengkeram tangan Bravy erat. “Kamu gila…”
Bravy terkekeh, mencium keningnya. “Kamu lebih gila. Tetapi aku suka.”
Mereka pun tertidur dalam pelukan, dengan satu kesadaran: liburan ini bukan sekadar pelarian, melainkan awal dari sesuatu yang tak akan pernah bisa mereka lupakan.