
Dendam dan Cinta Terlarang di Bawah Langit
Bab 1 – Dendam dan cinta terlarang – Luka yang Menyala di Senja
Dendam dan Cinta Terlarang, Cerita Dewasa – Senja itu hangat tetapi sunyi. Di antara pepohonan yang meranggas, Patrick berdiri memandang langit jingga yang seolah ikut terbakar oleh masa lalunya.
Di belakangnya, suara langkah yang sudah lama ia kenal terdengar pelan. Patricia.
Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Suara napasnya saja sudah cukup untuk menyalakan kembali bara yang selama ini ia kubur.
“Patrick…” suara Patricia terdengar ragu.
Ia menoleh perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Akhirnya kau berani muncul juga.”
Mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana — bukan cinta, tetapi juga bukan kebencian murni. Hanya campuran rumit antara dendam, kerinduan, dan amarah yang belum sempat padam.
Bab 2 – Rahasia di Balik Pandangan
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di antara dedaunan kering. Tak banyak kata yang keluar, hanya angin yang membawa kenangan masa lalu.
“Kenapa kau kembali?” tanya Patrick akhirnya, suaranya datar tetapi matanya bergetar.
Patricia menatap lurus ke depan. “Karena aku lelah berlari dari yang seharusnya kuhadapi.”
Patrick tersenyum tipis. “Hidup bukan soal keberanian menghadapi, Patricia. Kadang… soal siapa yang lebih tahan menahan luka.”
Hening. Tetapi keheningan itu justru penuh arti.
Patricia mendekat selangkah, terlalu dekat hingga Patrick bisa mencium aroma mawar yang pernah jadi favoritnya.
Bab 3 – Dendam dan cinta terlarang – Malam di Antara Dua Dunia
Langit mulai gelap. Mereka berhenti di tepi sungai kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di sana, waktu seolah melambat.
Patrick menatap bayangan wajah Patricia di air. “Kau tahu, aku membencimu.”
Patricia tersenyum samar. “Kebencian itu yang membuatmu mengingatku, kan?”
Patrick menarik napas panjang, menahan semua emosi yang berputar. “Aku ingin melupakan.”
“Lalu kenapa matamu masih mencariku?” jawab Patricia, pelan tetapi menohok.
Ia menatapnya lama — terlalu lama hingga batas antara dendam dan keinginan mulai kabur.
Bab 4 – Di Bawah Langit Terbuka
Malam itu udara lembab, rumput basah, dan cahaya bulan menyorot wajah mereka. Patricia berdiri hanya beberapa langkah darinya, rambutnya tertiup angin.
Patrick merasa dadanya sesak — bukan karena benci, tetapi karena ia tak bisa berpura-pura lagi.
“Kau ingin aku pergi lagi?” tanya Patricia.
Patrick tidak menjawab. Ia melangkah pelan, mendekat hingga jarak mereka hampir hilang.
“Tidak,” katanya akhirnya. “Kali ini aku ingin kau tetap di sini, sampai aku tahu apa yang sebenarnya tersisa di antara kita.”
Udara terasa menegang. Tatapan mereka saling menembus, seolah ada ribuan kata yang tak terucap.
Bab 5 – Dendam dan cinta terlarang – Api yang Tak Bisa Padam
Malam makin larut, tetapi tak ada yang beranjak. Patrick tahu, apa pun yang terjadi malam itu akan mengubah segalanya.
“Patricia,” katanya perlahan, “kau tahu apa yang paling kubenci?”
“Apa?”
“Bahwa aku masih mencintaimu.”
Patricia menunduk, tetapi air matanya jatuh di antara rumput.
“Dan aku,” katanya dengan suara bergetar, “masih belum tahu bagaimana berhenti.”
Langit di atas mereka tampak gelap, tetapi bintang-bintang berkelip seperti menertawakan dua jiwa yang tak pernah benar-benar bisa saling melepaskan.
Bab 6 – Bayangan dari Masa Lalu
Keesokan paginya, Patrick berdiri di tepi tebing kecil tempat mereka sering datang dulu. Angin membawa aroma tanah basah dan daun yang baru jatuh. Di sana, kenangan lama terasa hidup kembali.
Ia tak sadar, Patricia sudah berdiri di belakangnya.
“Kau masih suka tempat ini,” katanya lembut.
Patrick menoleh cepat. “Tempat ini menyimpan terlalu banyak luka. Tetapi aku tak bisa berhenti datang.”
Mereka saling menatap lama.
Patricia tahu, apa yang terjadi di antara mereka dulu bukan sekadar kesalahan. Itu adalah bagian dari dendam dan cinta terlarang yang tak bisa mereka lupakan.
Bab 7 – Dendam dan cinta terlarang – Luka yang Terbuka Kembali
Hari mulai gelap ketika hujan turun perlahan. Mereka berteduh di bawah pohon besar, tetapi jarak di antara tubuh mereka semakin menipis.
“Kau masih menyalahkanku?” tanya Patricia.
Patrick tersenyum miring. “Aku tak tahu mana yang lebih sakit: kehilanganmu atau mengingat semua kebohonganmu.”
Patricia menghela napas. Kemudian menjawab, “Aku tak punya pilihan waktu itu. Dunia melawan kita.”
“Dunia?” Patrick mendekat sedikit. “Atau kau yang takut pada perasaanmu sendiri?”
Kalimat itu membuat Patricia terdiam.
Hujan turun makin deras, tetapi di bawah pohon itu, dendam dan cinta terlarang justru tumbuh kembali dalam diam.
Bab 8 – Di Antara Dosa dan Rindu
Malam menjelang. Api unggun kecil mereka menyala redup, menyingkap wajah Patrick yang tampak letih tetapi masih keras kepala.
Patricia menatapnya dari seberang api.
“Kau masih ingin menghukumku?”
Patrick memejamkan mata sejenak. “Aku ingin melupakanmu, tetapi setiap kali aku mencoba, aku justru semakin mengingat.”
“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?”
Patrick menatapnya, tajam tetapi penuh rindu.
“Mungkin aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku belum selesai denganmu.”
Kata-katanya menggantung di udara. Api unggun memantulkan cahaya di mata mereka, menyalakan kembali bara dendam dan cinta terlarang yang tak pernah padam.
Bab 9 – Di Bawah Pohon yang Sama
Pagi berikutnya, hutan kembali sunyi. Patrick dan Patricia berjalan tanpa banyak bicara.
Setiap langkah terasa berat, seolah tanah pun menahan mereka agar tak pergi.
Patricia akhirnya berhenti di bawah pohon yang sama — tempat mereka dulu berpisah.
“Di sini semua dimulai,” katanya pelan.
Patrick mengangguk. “Dan mungkin di sini juga harus berakhir.”
“Tetapi aku tak ingin kehilanganmu lagi, Patrick.”
Ia menatapnya dalam-dalam. “Kadang, kehilangan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.”
Namun sebelum Patricia bisa menjawab, Patrick menarik napas panjang. Ia tahu hatinya sudah kalah — kalah oleh dendam dan cinta terlarang yang ia buat sendiri.
Bab 10 – Dendam dan cinta terlarang – Di Ujung Langit yang Sama
Sore terakhir tiba. Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan warna keemasan di langit.
Patrick dan Patricia berdiri berhadapan, wajah mereka dipenuhi luka dan kejujuran.
“Kita saling menghancurkan,” kata Patricia lirih.
“Tetapi mungkin memang itu satu-satunya cara kita bisa tetap bersama,” jawab Patrick.
Ia mengulurkan tangan. Patricia meraihnya, perlahan, seperti seseorang yang menyentuh kenangan yang hampir hilang.
Langit berubah gelap, tetapi ada cahaya kecil di antara mereka — bukan cinta murni, bukan dendam sepenuhnya, melainkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan: perpaduan dari dua hati yang sama-sama luka, tetapi enggan menyerah.
Dan di bawah langit terbuka itu, mereka akhirnya menyadari:
bahwa dendam dan cinta terlarang tak pernah benar-benar bisa berakhir.
Bab 11 – Luka yang Tak Pernah Sembuh
Patrick duduk di bangku taman tua yang pernah jadi saksi perpisahan mereka. Angin sore membawa aroma bunga liar, menembus jaketnya yang lembap.
Di seberang jalan, Patricia berdiri dengan langkah ragu. Tatapannya menembus keramaian, mencari mata Patrick di antara lalu-lalang orang.
“Masih saja datang ke tempat ini,” ucapnya lirih.
Patrick menoleh perlahan. “Karena cuma di sini aku bisa merasa kau masih nyata.”
Suara tawa anak-anak berlari di kejauhan, tetapi di antara mereka, dunia seakan berhenti.
Dendam dan cinta terlarang kembali menyalakan bara di hati Patrick — luka lama yang tak pernah sembuh.
Bab 12 – Dendam dan cinta terlarang – Pertemuan yang Tak Direncanakan
Langit berubah jingga ketika mereka berjalan berdampingan tanpa kata. Taman itu ramai, tetapi seakan hanya menyisakan dua manusia yang mencoba berdamai dengan masa lalu.
“Aku benci caramu menatapku,” kata Patricia dengan suara bergetar.
Patrick tersenyum tipis. “Karena tatapan itu membuatmu ingat segalanya.”
Ia mendekat perlahan. Aroma tubuhnya menyatu dengan wangi dedaunan basah.
“Semua ini salah,” bisik Patricia.
Patrick menatapnya dalam. “Salah… tapi nyata. Dan mungkin hanya itu yang tersisa dari kita.”
Sekali lagi, dendam dan cinta terlarang bergetar di udara, menuntut jawaban yang tak pernah selesai.
Bab 13 – Antara Penyesalan dan Hasrat
Hari berganti malam, taman diterangi lampu-lampu kecil yang temaram.
Patrick memandangi bayangan mereka di kolam air yang tenang.
“Kau tahu,” katanya pelan, “kadang aku berharap kita tak pernah bertemu. Tetapi kalau begitu, aku juga takkan tahu apa itu cinta.”
Patricia menatapnya. “Dan aku takkan tahu apa itu luka.”
Mereka tertawa pahit.
Namun di balik tawa itu, ada denyut rindu yang menekan dada — sesuatu yang lebih kuat dari logika, lebih hangat dari amarah.
Dalam setiap kalimat, setiap tarikan napas, dendam dan cinta terlarang menari di antara mereka, liar dan tak terkendali.
Bab 14 – Di Tengah Keramaian
Orang-orang berlalu-lalang, tapi dunia mereka semakin sempit. Patrick menggenggam tangan Patricia — pertama kali setelah bertahun-tahun.
Beberapa mata memandang, sebagian berbisik. Tetapi mereka tak peduli.
“Patrick, jangan,” bisik Patricia. “Kita dilihat orang…”
“Terserah,” katanya tegas. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayangan.”
Ia menarik Patricia mendekat.
Tatapan mereka bertemu, dan di antara gemuruh kota, mereka akhirnya menyerah pada apa yang selama ini mereka lawan — dendam dan cinta terlarang yang menuntut kebebasan.
Ciuman mereka bukan tentang nafsu, tetapi tentang luka, tentang kerinduan yang menolak padam meski disaksikan dunia.
Bab 15 – Langit Terbuka, Hati Tertutup
Hujan tiba-tiba turun, membasahi taman. Orang-orang berlari mencari tempat berteduh, tetapi Patrick dan Patricia tetap berdiri di tengah air yang mengguyur tubuh mereka.
Patricia tersenyum di antara tetesan hujan. “Kita gila.”
Patrick mengangguk, menatap langit. “Tetapi setidaknya, kali ini kita jujur.”
Mereka saling berpelukan erat, membiarkan hujan menutupi air mata yang tak sempat jatuh.
Dunia mungkin menilai mereka salah, tetapi di saat itu, tak ada lagi yang bisa menghentikan mereka.
Dendam dan cinta terlarang akhirnya menemukan bentuknya sendiri — bukan kemenangan, bukan kekalahan, hanya dua hati yang memilih untuk tetap terbakar.
Dan di bawah langit terbuka itu, cinta yang pernah dilarang akhirnya dibiarkan hidup… meski hanya sebentar.