Suara dari Kamar 7

Suara dari kamar 7

Suara dari Kamar 7

Bab 1 — Suara dari Kamar 7 – Tamu Malam Itu

Suara dari Kamar 7 – Cerita Dewasa – Langit kota kecil itu diguyur hujan sejak sore. Aroma tanah basah memenuhi lobi hotel tua bernama Hotel Nirwana. Evan, penjaga malam di sana, sedang menutup buku tamu ketika pintu terbuka perlahan.
Seorang perempuan berpayung hitam berdiri di ambang pintu — wajahnya samar di bawah cahaya lampu gantung.#

“Apakah masih ada kamar kosong?” suaranya lembut, serak, seolah baru saja menangis.
Evan menatap daftar kamar.
“Hanya tersisa kamar tujuh,” jawabnya.
Perempuan itu tersenyum tipis. “Itu sudah cukup.”
Malam itu, suara dari kamar 7 pertama kali terdengar.

 

Bab 2 — Suara dari Kamar 7 – Bisikan di Balik Dinding

Pukul dua dini hari. Hujan belum berhenti. Evan terbangun dari kursi jaga karena mendengar sesuatu — suara lembut, nyaris seperti nyanyian, datang dari arah kamar tujuh.
Ia mendekat. Dari balik pintu, terdengar bisikan:
“Kenapa kau datang terlambat…”

Jantungnya berdebar. Ia mengetuk pintu pelan, tetapi tidak ada jawaban.
Saat ia menempelkan telinga, hawa dingin mengalir dari celah pintu, membawa aroma bunga sedap malam.
Ia kembali ke meja resepsionis, namun bayangan perempuan bergaun putih dari kamar itu terus menghantui pikirannya.
Sejak malam itu, suara dari kamar 7 menjadi bagian dari rutinitasnya.

 

Bab 3 — Tatapan di Koridor

Pagi berikutnya, perempuan kamar 7 turun untuk sarapan. Gaunnya sederhana, rambutnya dibiarkan terurai lembut, dan matanya tampak sayu — tetapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan dari sorotnya.

“Tidur nyenyak?” tanya Evan dengan sopan.
“Tidak juga,” jawabnya pelan. “Kau juga mendengarnya, kan? Suara dari kamar 7 itu.”
Evan tertegun. “Suara?”
Ia hanya tersenyum samar. “Kadang, kamar menyimpan kenangan orang yang pernah terlalu mencintai.”

Setelah ia pergi, Evan baru sadar — ia tak sempat menanyakan namanya.

 

Bab 4 — Suara dari Kamar 7 – Foto Lama

Sore hari, rasa penasaran membuat Evan membuka arsip lama hotel. Ia menemukan foto hitam putih bertanggal 1987: sepasang kekasih di depan kamar tujuh.
Di balik foto itu tertulis: “Untuk Mira, cintaku yang tak pernah pulang.”

Evan terdiam. Nama itu menggema di kepalanya.
Malamnya, suara dari kamar 7 terdengar lagi, kali ini jelas memanggil namanya sendiri.
“Evan…”
Ia mendekat, tetapi begitu tangannya menyentuh gagang pintu, lampu koridor padam — dan suara itu berhenti.

Bab 5 — Hujan yang Mengingat

Keesokan malam, hujan turun lebih deras dari biasanya. Evan memutuskan untuk berjaga di depan kamar tujuh. Setiap denting jam terdengar seperti langkah yang mendekat.
Pukul tiga dini hari, pintu kamar itu terbuka sedikit, dari dalamnya keluar cahaya temaram lilin.

Perempuan itu berdiri di ambang pintu, wajahnya lembut tetapi sedih.
“Kenapa kau tidak pergi, Evan?”
“Karena aku ingin tahu siapa kau,” jawabnya tenang.
Ia menatapnya lama, kemudian berbisik, “Aku adalah suara yang kau dengar setiap malam. Yang menunggu seseorang berani membuka pintu.”

Dan untuk pertama kalinya, Evan melangkah masuk ke kamar tujuh.

 

Bab 6 – Suara dari Kamar 7 – Bayangan di Cermin

Kamar 7 terasa asing malam itu. Di sudutnya, cermin besar memantulkan bayangan dua orang yang berjarak hanya beberapa langkah.
Namun aroma hujan merayap masuk lewat jendela, dan di antara pantulan kaca, mata mereka saling mencari.

Jennifer menatap Evan lama, seolah berusaha membaca rahasia yang ia simpan terlalu dalam. “Kenapa kau tetap di sini?” bisiknya.
“Karena suara dari kamar ini memanggilku,” jawab Evan pelan.

Dalam hening, hanya detak jam dan napas mereka yang terdengar.

 

Bab 7 – Rahasia yang Terselip

Pagi datang perlahan. Jennifer berdiri di balkon, membiarkan cahaya menelusuri kulitnya. Kemudian Evan muncul dari belakang, membawa dua cangkir kopi.
“Masih tentang suara itu?” tanyanya.
Jennifer tersenyum samar. “Mungkin suara itu cuma kenangan yang tak mau pergi.”

Di udara ada kehangatan yang tak pernah mereka akui. Setiap kali jarak menipis, ada sesuatu yang menahan mereka—bukan takut, tetapi rasa yang belum sempat dinamai.

 

Bab 8 – Suara dari Kamar 7 – Hujan di Atas Genteng

Hujan sore itu turun deras. Evan dan Jennifer terjebak di kamar 7, suara hujan menimpa atap tua seperti lagu lama.
Mereka berbicara tentang hal-hal sepele—masa lalu, luka, dan mimpi yang tak jadi.

Tiba-tiba listrik padam.
Kegelapan membuat semua suara terasa dekat.
Namun Evan mendengar napas Jennifer yang tak beraturan; Jennifer bisa merasakan detak jantung Evan dari jarak yang singkat.

Tak ada kata yang perlu diucapkan—malam itu hanya diisi oleh keberanian untuk tetap saling menatap, dalam diam yang panjang.

 

Bab 9 – Langkah di Lorong

Keesokan paginya, lorong hotel terasa sunyi. Seorang resepsionis berbisik bahwa kamar 7 sudah lama tak disewa siapa pun selain Evan.
Ia terdiam.
Jika begitu, siapa Jennifer?

Ia kembali ke kamar itu, namun hanya menemukan secarik surat di atas meja:

“Terima kasih sudah mendengar suaraku. Kadang cinta hadir hanya untuk menyembuhkan, bukan untuk dimiliki.”

Hatinya bergetar. Ia tak tahu apakah harus sedih atau bersyukur telah mengenal sosok yang mungkin tak pernah benar-benar nyata.

 

Bab 10 – Senandung Terakhir

Malam terakhir, Evan duduk di depan cermin besar kamar 7.
Dari kejauhan, ia mendengar samar suara perempuan bernyanyi—lembut, menenangkan, dan penuh rindu.
Angin membawa aroma bunga yang pernah Jennifer kenakan.

Ia menutup mata. Dalam gelap, bayangan itu muncul sekali lagi—tersenyum, menatapnya lembut.
“Terima kasih sudah datang,” ucap suara itu.
Dan ketika Evan membuka mata, hanya ada dirinya sendiri di cermin, tetapi senyumnya terasa hangat, seolah Jennifer masih di sana.

 

Bab 11 – Suara dari Kamar 7 – Malam yang Membara

Hujan menetes lembut di jendela kamar 7, suara ritmisnya seperti musik yang menenangkan.
Evan duduk di dekat jendela, tetapi tatapannya tak lepas dari Jennifer.
Kemudian tangannya menyentuh tangan Jennifer perlahan, jari-jari mereka saling menggenggam sebentar, hangat dan bergetar.
“Hujan malam ini… terasa berbeda,” bisik Evan.
Jennifer tersenyum, menunduk, dan napas mereka berpadu dalam keheningan yang panjang. Suara dari kamar 7 malam itu terasa lebih dekat dari sebelumnya.

Suara dari kamar 7
Suara dari kamar 7 – desahan wanita

Bab 12 – Sentuhan yang Tertahan

Jennifer menggenggam cangkir teh, tetapi tangan dan dadanya bergetar. Evan merasakannya, kemudian meraih tangannya lebih erat, menyelimuti kehangatan yang sama.
“Malam ini kau membuatku takut… tetapi juga nyaman,” katanya lembut.
Tatapan mereka bertemu, detak jantung seakan berpacu bersama. Setiap gerakan kecil, setiap sentuhan tangan, menciptakan keintiman yang tak terucapkan.
Mereka duduk berdekatan, jarak tubuh begitu dekat hingga hawa hangatnya saling menyentuh, membuat malam terasa membara.

 

Bab 13 – Suara dari Kamar 7 – Hujan di Balkon

Hujan deras memaksa mereka berdua tetap di balkon kamar 7.
Setelah itu, Jennifer menatap hujan, dan Evan berdiri di belakangnya, membiarkan jarak hanya beberapa inci.
“Kadang hujan mengingatkan kita pada hal-hal yang hilang,” bisiknya di telinga Jennifer, napasnya menyapu pundaknya.
Jennifer menelan ludah, merasakan kehangatan yang perlahan merayap di seluruh tubuhnya. Mata mereka bertemu, dan dunia di sekitar seakan berhenti. Malam itu, kisah cinta mereka terasa lebih nyata dari sebelumnya.

 

Bab 14 – Suara dari Kamar 7 – Bisikan di Lorong

Lorong hotel sepi, hanya terdengar suara langkah mereka yang nyaris bersatu.
Tangan mereka hampir bersentuhan, dan Evan dengan lembut menggenggam jemari Jennifer, membiarkan kehangatan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
“Suara itu… selalu memanggil kita,” bisik Jennifer.
“Sekarang kita tahu, kita bisa mendengar dan merasakannya bersama,” jawab Evan.
Detik-detik itu penuh dengan tatapan intens dan napas yang saling bertemu, membiarkan keintiman mereka tumbuh perlahan, tak terburu-buru, tetapi membekas di hati.

 

Bab 15 – Bara yang Tak Pernah Padam

Malam terakhir hujan bulan itu, mereka kembali ke kamar 7. Lilin menyala lembut, bayangan menari di dinding, aroma hujan masih menempel di udara.
Evan memegang tangan Jennifer, jari-jari mereka saling menggenggam erat.
“Kau tahu… aku tak bisa melepaskanmu,” bisiknya.
“Dan aku juga tak bisa,” jawab Jennifer, napas mereka berirama, detak jantung seakan menyatu.

Mereka duduk berdekatan, bahu menyentuh, kehangatan tubuh satu sama lain terasa nyata. Dalam hening malam, suara dari kamar 7 bukan lagi misteri — tetapi saksi cinta yang tumbuh, intim, dan tak tergoyahkan. Bara yang lama tersembunyi kini menyala, membawa mereka pada perasaan yang tak pernah ingin padam.

 

Author: admin