Pernikahan, Antara Suami atau Mantan
Bab 1 – Undangan yang Membuka Luka Lama
Jason memandangi amplop putih yang dikirim lewat pos sore itu. Tulisan tangan di sudutnya membuat jantungnya berdetak tak beraturan. “Pernikahan Stephanie & Ryan – Sabtu, pukul 19.00. The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place”
Nama itu menamparnya lembut namun dalam. Lima tahun telah berlalu sejak ia dan Stephanie berpisah, tetapi kenangan mereka tak pernah benar-benar padam.
Jason tak tahu mengapa ia diundang. Mungkin sebagai bentuk kedewasaan, atau justru godaan dari masa lalu. Namun, sesuatu dalam dirinya ingin melihatnya sekali lagi — entah untuk mengucapkan selamat, atau untuk memastikan bahwa cintanya memang telah berakhir.
Bab 2 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Tatapan Pertama di Hari Bahagia
Musik klasik mengalun pelan di aula pernikahan yang penuh cahaya hangat.
Kemudian muncul Stephanie berjalan di antara tamu, gaunnya berkilau dalam gemerlap lampu kristal.
Ketika ia menoleh ke arah pintu, pandangannya bertemu dengan Jason — lelaki yang dulu nyaris menjadi bagian hidupnya.
Tetapi waktu terasa seperti berhenti sesaat.
Stephanie menahan napas. Di balik senyum formalnya, ada getaran halus yang tak bisa ia sembunyikan.
Jason menunduk sopan, tetapi matanya berbicara lain: ada rasa yang belum selesai, ada cerita yang belum tuntas.
Ryan, sang suami, sedang sibuk menyapa tamu lain. Dan di sela hiruk pikuk kebahagiaan, Stephanie sempat bertanya dalam hati — mengapa Jason harus datang hari ini?

Bab 3 – Percakapan di Balik Tirai
Malam semakin larut. Setelah acara utama selesai, Jason berdiri di balkon samping aula, menatap langit malam yang cerah. Suara langkah pelan terdengar dari belakang — Stephanie.
“Kau datang juga,” katanya dengan suara pelan.
Jason menoleh. “Aku ragu sebelumnya, tetapi aku pikir… aku harus melihatmu bahagia.”
Stephanie tersenyum samar, menatap jemarinya sendiri. “Lucu ya, kita dulu berbicara tentang masa depan, tetapi akhirnya bukan kita yang menjalani.”
Jason mengangguk, matanya tak beranjak darinya. “Kadang, yang paling kita cintai justru yang tak bisa kita miliki.”
Hening. Angin malam membawa aroma melati dan parfum Stephanie yang dulu ia hafal betul.
Kedekatan itu membuat batas masa lalu dan sekarang semakin kabur. Tak ada kata cinta, tetapi getarannya terasa nyata.
Bab 4 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Ruang Sunyi di Tengah Riuh
Di tengah pesta yang semakin ramai, Stephanie mundur sejenak ke ruang rias belakang. Ia butuh napas. Gaunnya terasa terlalu berat, pikirannya terlalu penuh.
Namun, saat ia menatap cermin, bayangan di belakangnya membuatnya menegang. Jason berdiri di ambang pintu.
“Maaf,” katanya pelan. “Aku tak bermaksud mengganggu.”
Stephanie hanya menatapnya dari pantulan cermin. “Kau selalu datang di waktu yang salah, Jason.”
“Dan kau selalu terlihat paling cantik ketika aku tak seharusnya melihatmu.”
Kalimat itu menggantung.
Udara di ruangan seolah berhenti. Tidak ada musik, hanya detak jantung mereka yang berkejaran di udara.
Stephanie menatapnya lewat pantulan, dan dalam tatapan itu, mereka sama-sama tahu — masih ada sesuatu yang belum selesai.
Bab 5 – Api di Balik Senyum
Ketika Jason hendak pergi, Stephanie menahan langkahnya. “Terima kasih sudah datang,” katanya lirih.
Jason menatapnya, mencoba tersenyum. “Selamat, Stephanie. Kau pantas bahagia.”
Namun saat ia melangkah menjauh, Stephanie berkata tanpa sadar,
“Kalau begitu, kenapa rasanya aku justru kehilangan sesuatu malam ini?”
Jason berhenti sejenak, tetapi tak berbalik.
Sementara itu, dari kejauhan, musik pesta kembali terdengar. Stephanie berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri — seorang istri baru dengan hati yang belum benar-benar berpindah.
Bab 6 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Pertemuan Rahasia
Pesta semakin ramai, musik dan tawa mengisi ballroom. Stephanie berjalan menuju taman belakang, mencari udara segar. Hatinya campur aduk — bahagia karena menikah dengan Ryan, tetapi ada rasa lain yang tak bisa ia abaikan.
Jason berdiri di sudut taman, melihat ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan seketika dunia terasa hening. Hanya angin malam dan aroma bunga melati yang menemani.
“Malam ini… kau terlihat berbeda,” Jason berbisik.
Stephanie tersenyum samar, menunduk. “Aku selalu berbeda saat kau melihatku,” jawabnya, meski hatinya bergetar.
Mereka berdiri dekat, jarak hanya beberapa inci. Tak ada kata yang perlu diucapkan, tetapi setiap detik terasa seperti percakapan panjang yang tertunda bertahun-tahun.
Bab 7 – Bisikan yang Membara
Stephanie menatap langit malam, cahaya lampu taman menari di matanya. “Kenapa kau selalu muncul di saat yang salah?” tanyanya lirih.
Jason menghela napas, menatapnya dengan tatapan hangat namun penuh rasa bersalah. “Mungkin karena yang salah itu justru yang paling ingin kita lihat.”
Stephanie menggigit bibirnya, menahan rasa yang muncul. Ia ingin mendekat, tetapi hatinya berbisik tentang Ryan, tentang janji dan hidup barunya. Jason menatap tangan Stephanie yang sedikit gemetar. Mereka tahu batas-batasnya, tetapi ketegangan batin itu sulit diabaikan.
Setiap kata, setiap tatapan, seperti menghidupkan kembali kenangan yang dulu sempat mereka kubur. Mereka tetap berdiri, hening, tetapi dunia di sekitar terasa jauh.
Bab 8 – Kenangan yang Tak Bisa Hilang
Di sisi taman, hujan ringan sempat menetes dari dedaunan. Jason menunduk, menatap wajah Stephanie. “Aku selalu mengingatmu… setiap hari, setiap saat,” bisiknya.
Stephanie menutup mata sebentar, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu perasaannya rumit. Ia mencintai Ryan, tetapi kenangan dengan Jason membawa rasa yang tak bisa dijelaskan.
“Kenapa kita tidak pernah bertemu lagi?” Stephanie bertanya pelan.
“Kita takut menghadapi diri sendiri,” jawab Jason. “Tetapi malam ini… kita tak bisa menghindar.”
Udara malam yang dingin membawa aroma nostalgia, dan kedekatan mereka terasa tak tertahankan, meski mereka tahu batasnya. Konflik batin ini membakar hati Stephanie, namun elegan dan penuh rasa.

Bab 9 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Detik yang Membingungkan
Waktu seakan berhenti saat keduanya berdiri di bawah lampu taman. Musik dari pesta terdengar samar, tetapi mereka seperti berada di dunia lain.
“Jason…” Stephanie menghela napas panjang. “Aku harus… bertanggung jawab atas hidupku sekarang.”
Jason mengangguk, matanya penuh pengertian. “Aku tahu… tetapi aku juga tak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini tak ada.”
Mereka saling menatap, penuh kerinduan dan rasa bersalah. Tiap kata, tiap senyum tipis, adalah permainan emosional yang membuat Stephanie merasakan panas di dada, tanpa satu pun kata cinta diucapkan.
Hanya tatapan, jarak dekat, dan udara malam yang membawa emosi mereka seperti gelombang.
Bab 10 – Akhir Malam yang Tertunda
Saat pesta mulai sepi, Jason dan Stephanie kembali berdiri di balkon taman. Lampu kota memantul di kaca, menciptakan bayangan panjang.
“Stephanie… malam ini adalah ujian bagi kita,” Jason berbisik.
Stephanie tersenyum tipis, menatapnya. “Aku tahu… dan aku… aku harus memilih jalan yang benar.”
Mereka saling menatap, napas mereka hampir bersatu, hati mereka penuh gejolak. Meski jarak tetap ada, malam itu mereka menyadari bahwa perasaan lama tak pernah benar-benar hilang.
Mereka meninggalkan taman dengan langkah berat, tetapi dengan hati yang lebih jujur terhadap diri sendiri. Konflik batin itu tetap ada, namun elegan dan sensual —
Bab 11 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Malam yang Sunyi
Setelah pesta berakhir, ballroom mulai kosong. Lampu perlahan diredupkan, dan juga hanya meninggalkan cahaya remang dan musik lembut dari kejauhan.
Stephanie berdiri di balkon kamar pengantin, mencari ketenangan. Hatinya bergejolak: kebahagiaan, kerinduan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu.
Jason muncul di ambang pintu, membawa senyum tipis yang sama seperti dulu. Mereka saling menatap lama, seperti waktu berhenti untuk mereka berdua.
“Stephanie…” Jason menghela napas. “Aku tak tahu bagaimana harus mengucapkan semuanya malam ini.”
Stephanie menatapnya, jantungnya berdegup kencang. “Aku juga… tetapi sepertinya kita tak bisa terus menghindar.”
Bab 12 – Jarak yang Menghilang
Mereka masuk ke kamar pengantin, pintu tertutup di belakang. Tetapi hanya cahaya lembut lampu malam yang menerangi ruangan.
Stephanie dan Jason berdiri berhadapan, jarak hanya beberapa inci. Tak ada kata yang diperlukan, namun setiap tatapan dan gerakan perlahan berbicara.
“Malam ini, aku ingin jujur,” bisik Jason.
Stephanie menunduk sebentar, menahan getaran hati yang begitu intens. “Aku juga… tetapi kita harus ingat kenyataan.”
Udara malam terasa berat, tetapi penuh ketegangan batin. Mereka menyadari setiap detik yang mereka habiskan bersama adalah hadiah sekaligus ujian — keintiman emosional yang membuat mereka hampir lupa waktu.
Bab 13 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Kenangan yang Membara
Jason dan Stephanie duduk di tepi tempat tidur, tetap menjaga jarak. Kata-kata mereka lembut, namun sarat makna.
“Jason… rasanya seperti kembali ke masa lalu,” Stephanie berbisik.
“Ya,” jawab Jason, “tetapi kita berbeda sekarang. Hidupmu… hidupku… tidak lagi sama.”
Mereka tertawa samar, napas saling bersentuhan. Kenangan lama muncul, tatapan, senyum, dan kebiasaan yang dulu terasa begitu familiar.
Meski begitu, keduanya sadar bahwa ini adalah momen terakhir yang bisa mereka miliki. Konflik batin semakin memuncak, tetapi tetap dalam nuansa elegan dan emosional.
Bab 14 – Saat Terakhir
Waktu berjalan begitu cepat. Jason berdiri, menatap Stephanie dengan lembut.
“Kita harus berhenti di sini,” katanya. “Ini terakhir kalinya.”
Stephanie menunduk, menahan air mata. “Aku tahu… tetapi rasanya sulit mengucapkan selamat tinggal.”
Mereka berdiri berdekatan, namun hanya napas yang menyentuh satu sama lain. Sebuah detik hening yang panjang, di mana dunia luar seakan menghilang.
Tidak ada kata cinta, tidak ada pelukan panjang — hanya keintiman emosional yang membakar hati mereka, meninggalkan kenangan yang tak akan pernah pudar.

Bab 15 – Pernikahan, Antara Suami atau Mantan – Perpisahan untuk Selamanya
Jason melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali terakhir.
“Selamat tinggal, Stephanie,” katanya, suaranya serak tetapi tenang.
Stephanie menatapnya, menahan air mata. “Selamat tinggal, Jason.”
Pintu tertutup, meninggalkan Stephanie di kamar yang kini sepi. Ia menarik napas panjang, menyadari bahwa cinta lama memang tak bisa dimiliki lagi.
Di luar, dunia tetap berjalan, musik dari pesta yang sudah usai masih samar terdengar. Namun bagi mereka, malam itu adalah titik akhir yang elegan — pertemuan terakhir yang menyisakan keintiman emosional, kerinduan, dan ketegangan batin, tanpa harus melanggar batas.








