
Aku adalah seorang lajang dari Medan, sebut saja namaku Bagas. Aku anak pertama dari empat bersaudara, dan aku satu-satunya laki laki di antara mereka. Kehidupan keluargaku bisa dibilang cukup memprihatinkan secara ekonomi. Beruntung, aku bisa menyelesaikan SMA berkat kerja part time dari door smer bigel (nama tempat kerjaku).
Aku sedih melihat kondisi keluargaku seperti ini. Bapakku hanyalah seorang Wiraswasta dengan gaji pas-pasan, sementara ibuku adalah ibu rumah tangga biasa yang tak punya keterampilan khusus. Tugasnya sehari-hari cuma mengurus anak-anak. Aku ingin sekali membantu org tua mencari uang tambahan. Tapi apa daya, aku cuma lulusan SMA. Meski begitu, aku tetap mencoba melamar pekerjaan di berbagai loker di kota MEDAN. Hasilnya nol besar tak ada satu pun yang menerimaku. Aku paham, di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, banyak perusahaan yang bangkrut. Yang bertahan pun terpaksa mem-PHK karyawan mereka, karena di jaman ku dilanda covid 19 dan aku lulusan covid.
Lalu, aku berpikir, kenapa nggak coba ke Jakarta aja? Kata orang, di ibu kota banyak lowongan kerja. Aku teringat tetanggaku sekaligus kakak kelas ku dulu di SMA, Marika. Dia katanya sukses besar di sana. Buktinya, kehidupan keluarganya berubah drastis. Dulu, rumah tangga Marika mirip banget sama keluargaku—serba kekurangan. Tapi sejak Kak Marika merantau ke Jakarta, ekonomi mereka semakin membaik. Rumahnya sekarang permanen, perabotannya baru semua: kursi tamu mewah, tempat tidur empuk, TV 29 inci lengkap dengan antena parabola dan VCD. Aku ingin seperti dia. Toh, Kak Marika juga cuma tamatan SMA dan dia perempuan malah. Kalau dia bisa, kenapa aku nggak? Aku harus optimis.
Suatu hari di bulan September 2021, aku pamit ke keluarga untuk merantau ke Jakarta. Bapak dan Mamak langsung mengijinkan aku pergi. Dengan bekal uang Rp 1.500.000 dan tiket kelas ekonomi yang aku tabung dari SMA, aku meninggalkan kampung aku di MEDAN. Dari kampung, aku menuju bandara KNO. Aku harus sampai sebelum pukul 6 sore karena Lion Air JT-305 berangkat jam 19:00 WITA. Waktu satu jam seharusnya cukup untuk cari tempat nyaman di bandara. Tiketku nomor kursi 27D maklum, kelas ekonomi.
Tapi sial, jalan yang aku lewati bersama teman yang mengantar ku terlalu macet. Jam sudah menunjukkan pukul 18:35 saat aku tiba. Waktuku cuma 25 menit! aku mendengar pengumuman dari petugas bandara kalau pesawat akan landing dalam 20 mnt lagi, dan aku lihat penumpang lain sedang mengantri. Aku termasuk yang terakhir. Dengan sisa tenaga, aku lari sambil gendong tas punggung yang isinya cuma tiga potong baju. Akhirnya aku naik ke dek kelas ekonomi
Tak lama, Lion Air JT-305 berangkat meninggalkan Bandara KNO. Dan singkat cerita aku udah sampai di Bandara jakarta (CGK) Hatiku agak lega, dan aku berdoa semoga perjalanan ini mengubah nasibku. lalu keluar dari bandara aku menaiki bus menuju ibu kota, Tanpa sadar, aku ketiduran. Aku terkejut bangun saat petugas minta tiket. Aku ingat tiket ada di tas punggungku. Tapi ya apes, tasnya hilang entah ke mana! Aku panik, langsung cari-cari dan tanya ke ibu tua serta anak-anaknya, tapi mereka cuma geleng-geleng kepala.
“Cepat keluarkan tiketmu,” kata petugas dengan nada kasar.
“Aku kehilangan tas, tiket dan uangku ada di situ,” jawabku panik.
“Hah, bohong! Itu alasan basi. Bilang aja kamu nggak beli tiket. Ayo ikut kami ke terminal!” bentak petugas yang tampangnya seram itu.
Aku ditarik menuju kantor di terminal itu, di mana seorang wanita berseragam putih, yang katanya adalah atasan petugas tiket, sudah menungguku. Wajahnya keras dan tatapannya tajam. “Jadi ini orangnya? Beraninya bus tanpa tiket?” suaranya menggelegar, memenuhi ruang di antara kami.
Aku mencoba menjelaskan, suaraku bergetar. “Tiket saya hilang, BUk. Bersama tas dan semua pakaian saya. Saya tidak bohong…”
Dia memotongku dengan tawa sinis. “Ah, itu alasan klasik, Mas. Sudah ratusan orang yang mencoba cara ini.”
“Kalau Ibu tidak percaya, saya terima,” kataku, entah dari mana datangnya keberanian itu. “Saya akan dihukum apa pun, yang penting saya bisa sampai Jakarta.”
Senyumnya melebar. “Bagus. Itu jawaban yang saya tunggu.”
Wanita itu, yang mungkin berusia sekitar 35 tahun, memiliki perawakan seksi dan atletis. Meskipun tampak kejam, ia terlihat cantik. Dia menunjuk jarinya ke arah dahiku, seolah mengunci janjiku.
“Tapi ingat, kamu sudah berjanji akan melakukan apa saja.”
Aku mengangguk.
“Sekarang, mandi dulu sana. Handuknya di sana, kamar mandinya di sebelah kiri.”
Hatiku terasa ringan. Sikapnya yang tiba-tiba melunak membuatku terkejut. Aku tidak menyangka wanita yang tadinya begitu galak bisa bersikap baik. Aku mengucap terima kasih, memberanikan diri menatapnya, dan menyadari bahwa ia punya wajah yang cukup menarik.
“Jangan panggil saya Ibu, panggil saya Sister.”
Aku melirik lencana di seragamnya. Namanya Davina.
Setelah berada di dalam kamar mandi, aku terpana. Kamar mandi ini wangi dan bersih. Aku menyalakan shower dan air segar membasahi tubuhku. Aku menggosok tubuhku dengan sabun beraroma lembut dan mencuci rambutku yang lengket. Rasanya seperti dilahirkan kembali.
Aku keluar 10 menit kemudian, masih bingung memikirkan pakaian apa yang harus kupakai. Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkanku.
“Ganteng juga kamu.”
Sebelum aku sempat bereaksi, Sister Davina sudah memelukku dari belakang. Aroma cologne-nya tercium kuat. Aku terdiam, terlalu terkejut untuk bereaksi.
“Siapa namamu, Sayang?” bisiknya di telingaku.
“Bagas,” jawabku panik.
Aku ingat janjiku. Aku enggak memberontak. Karena aku diam saja, tangannya mulai merayap, menjelajahi dadaku yang bidang. Ciuman-ciumannya mendarat di leher dan telingaku. Aku menggelinjang, merasakan sensasi aneh yang belum pernah kurasakan. Di usia 19 tahun ini, aku memang tidak pernah punya pacar. Aku selalu menjaga jarak dengan perempuan karena aku engga PD, meskipun banyak yang mendekatiku. Basic dan keterampilan dance yang aku kuasai membuat seluruh sekolah mengenal ku terkhususnya wanita.
“Aduhh… jangan, Sister,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saat ia menyentuh bagian paling sensitif di dibawah ku. Handukku jatuh ke lantai. Aku menyadari ia juga sudah telanjang.
Aku merasakan benda kenyal yang kenyal menyentuh belakang badan. Napasnya yang hangat dan wangi memburu di punggungku. Tangannya yang tadinya berada di bawah, kini memainkan pentilku. Gairah yang tidak pernah kukenal seumur hidupku membuncah, membuat dadaku geli.
“Aduhhh… mati kaliiii…” dalam hatiki. Tubuhku seolah dikuasai oleh libido yang asing tapi begitu nikmat.
“Bagas, pegang ini,” kata Sister Davina, meraih tanganku dan menempelkannya di payudaranya yang kenyal tapi kencang. “Jangan diam saja, remas dong.”
Entah bagaimana, naluriku yang tidak pernah kusadari sebelumnya mengambil alih. Aku berbalik, meremas payudaranya, dan bahkan memainkannya. Ia mendesah nikmat. Aku menjilati putingnya, memasukkannya ke dalam mulutku. Aku menyedotnya, tidak peduli dengan desahannya.
“Aaahh… aku sudah tidak kuat,” gumamnya.
Sister Davina bersandar di dinding, lemas.
“Kamu hebat, Bagas,” pujinya, mencium bibirku. “Tapi jangan anggap aku sudah kalah.”
Ia mengambil sesuatu dari botol kecil dan menelannya, lalu mengambil minuman lain dari kulkas.
“Sini, Sayang,” panggilnya. “Istirahat sebentar. Aku ambil minum juga buatmu.”
Dia mengambil minuman yang sama untuk ku. Aku meminumnya sedikit demi sedikit. Rasanya enak sekali, meskipun aku tidak bisa membaca labelnya.
“Berbaringlah di ranjang,” pintanya.
Aku menuruti. Aku terbaring telanjang di atas kasur yang empuk. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi mataku tidak merasa ngantuk sama sekali. Aku sengaja tidak menutupi tubuhku, bahkan mekocok penisku sendiri, berharap bisa membangkitkan gairahnya lagi.
Sister Davina bangkit, meneguk lagi minuman. Ia mendekat, mulai mengelus dadaku, lalu pahaku. Lidahnya menyapu bibir pucuk penisku.
“Behh… geli…”
Ia menjulurkan lidahnya, mengkokop penisku. Aku melebarkan pahaku, dan ia semakin buas. Ia menghisapnya, sementara tangannya meremas payudaranya dan memelintir putingnya.
“Oohh… aahh… teruskan, Sister. Nikmat sekali…”
“Tahan, Sayang… biarkan aku menikmati penismu yang kekar ini. Aku belum pernah merasakan penis sekekar ini.”
Ia terus saja mengkulum penisku.
“udah, Sister! gantian aku memasukimu! Aku tidak tahan lagi!”
“Baik, Sayang. masukan langsung rudalmu itu,” jawabnya.”
“Blesss…”
“Oohh… aahh…” desahnya, saat penisku masuk tiga perempat.
“Blesss… blesss…”
“Oohh…” erangnya panjang. Aku tau dia kesakitan tapi senyum tipis. aku menarik penisku, lalu memasukkannya lagi.
“Blesss… blesss…”
“Oohh… aahh…”
“Aku mau keluar, Sister,” kataku.
“Tahan, Sayang… aku juga. Kita hitung sampai tiga. Satu… dua… tiga…”
“Crott… crott… crott…”
Lendir didalam vagina Sister Davina menyelimuti penisku. Rasanya hangat dan nikmat. Aku pun ikut keluar, memenuhin vaginanya. Kami terkulai lemas.
Ia lalu mengambil jarinya dan menunjukannya padaku. Ada cairan di sana, Ia menjilatnya.
“Terima kasih, Bagas. Kamu benar-benar memuaskan ku.”
Aku hanya tersenyum karena kenikmatan yang belum pernah kurasakan.
Aktivitas ini berlanjut sampai matahari terbit. Aku tidur sampai siang, makan, lalu tidur lagi, dan pada malam harinya, kami melakukannya lagi, berulang-ulang, seolah tak ada bosan.