Tante Diana

Tante Diana

Aku Dino, seorang siswa SMA swasta di kota X, berusia 18 tahun. Aku punya kebiasaan masturbasi, mungkin sekali sehari. Teman terbaik ku adalah seseorang yang hampir setiap hari aku temui. Aku sering main ke rumahnya, dan di sana aku sering bertemu dengan ibunya, Tante Diana. Usianya sekitar 36 tahun, tapi tubuhnya masih seperti gadis berusia 20-an montok dan menarik. Aku sering membayangkan Tante Diana saat masturbasi.

Suatu hari, kami dan teman-teman sekolah mengadakan pesta barbeque di rumah teman ku. Sambil menunggu teman lain yang belum datang, kami bermain dadu. Karena terlalu bersemangat, Aku melempar dadu terlalu keras hingga jatuh ke arah kamar Tante Diana. Dengan malas, Aku pergi mengambilnya. Saat itulah Aku melihat pemandangan yang membuat jantungan: Tante Diana hanya mengenakan celana dalam. Aku langsung tergoda, tapi buru-buru keluar sambil berusaha menenangkan diri. Sepanjang permainan dadu berikutnya, pikiran ku dipenuhi bayangan tubuh Tante Diana.

Tak lama, Tante Diana keluar dari kamar. Kami serentak menyapanya, tapi aku gak berani menatapnya, merasa malu dan takut karena kejadian tadi. Setelah permainan selesai, kami bersiap ke luar untuk barbeque. Tiba-tiba, Tante Diana meminta ku menemaninya ke rumah lamanya untuk mengambil barang. Dengan gugup, Aku mengiyakan. Sepanjang perjalanan, aku gak bisa berhenti memperhatikan gerak pinggulnya, dan hasrat ku semakin kuat.

Sesampai di rumah lama yang berdebu tapi rapi, Tante Diana tiba-tiba bertanya, “Apa yang kamu lihat tadi saat ambil dadu?” Aku terkejut, berusaha mengelak, “Aku engga lihat apa-apa, Tante.” Tapi dia mendesak, “Jangan bohong, atau Tante laporkan kamu!” Dengan terbata, aku mengaku melihatnya berganti baju, tapi tidak jelas. Lalu, dengan nada menggoda, dia bertanya, “Mau lihat lagi?” Aku, seperti mendapat kesempatan emas, menjawab, “Kalau Tante izinkan, aku mau.”

Tante Diana diam sejenak, lalu menyuruh aku mendekat. Dengan hati-hati, aku mendekatinya. Tiba-tiba, dia menarik tangan ku dan mencium bibir ku. Aku membalas ciumannya, tapi tangan ku kaku karena tegang. Berbeda dengan Tante Diana, tangannya lincah menyentuh tubuh ku, membuat ku semakin terbawa suasana. Dia membuka celana ku dan mulai memanjakan ku dengan tangannya yang lembut. Kenikmatan itu membuat ku menutup mata, menikmati setiap detik.

Tiba-tiba, dia berhenti. Aku memberanikan diri bertanya, “Tante, boleh aku pegang payudara Tante?” Dia tersenyum, “Terserah kamu, sayang.” Aku mulai meraba payudaranya, tapi masih dari luar baju. Karena kurang puas, aku bertanya lagi, “Boleh aku buka bajunya?” Dengan nada sedikit kesal, dia menjawab, “Kamu boleh lakukan apa aja. Tubuh tante milikmu sekarang.” Aku terbata mengucap terima kasih, dan dia meminta ku memanggilnya Diana aja, tanpa “Tante.”

Permainan berlanjut. Aku membuka kancing bajunya, dan terlihatlah payudaranya yang indah, mungkin ukuran 36A. Aku meremas dan menciumnya, membuat Diana mendesah nikmat. Setelah membuka bra-nya, aku menghisap putingnya dengan penuh gairah selama beberapa menit. Lalu, Diana berjongkok di depan ku, menurunkan celana ku, dan mulai memanjakan ku dengan mulutnya. Sensasinya luar biasa, membuat ku lupa diri. Tak lama, Aku mencapai klimaks, dan Diana dengan lihai menangani semuanya.

Kemudian, dia meminta ku membalas. Aku berjongkok, menurunkan celananya, dan melihat kemaluannya yang terawat rapi. Dengan ragu, Aku mulai menjelajahinya dengan lidah, menemukan tita titik kecil yang membuatnya mengerang keenakan. Setelah beberapa menit, Diana mencapai puncak kenikmatan, dan aku merasakan cairan yang keluar darinya. Aku melanjutkan hingga dia puas, lalu kami berciuman lagi, penuh gairah.

Setelah selesai, Diana tersenyum nakal dan berkata, “Kamu nakal, berani-beraninya dengan ibu temanmu.” Aku panik, tapi dia menenangkan ku, mengatakan dia menikmatinya dan meminta ku melakukannya lagi lain kali, atau dia akan melaporkan ku. Aku tersenyum, berjanji akan melayaninya lagi.

Kami buru-buru merapikan pakaian dan kembali ke pesta. Diana menjelaskan kami terlambat karena mencari kunci lemari, membuat ku lega. Di pesta, aku gak tenang, dan akhirnya masturbasi di kamar mandi sambil membayangkan Diana.

Dua minggu berlalu, dan hasrat aku malah meningkat, sampai tiga kali sehari. Suatu siang, saat pulang sekolah, pembantu memanggil ku untuk menerima telepon. Dengan malas, aku mengangkatnya. “Dino, ya?” tanya suara di ujung telepon. Aku mengiyakan, bertanya siapa. “Kok lupa sama Aku?” katanya genit. Aku mulai kesal, mengancam menutup telepon. Tiba-tiba, dia berkata, “Jangan marah, nanti Tante laporkan kamu, dan nggak Tante kasih kenikmatan lagi.” Aku langsung tersadar it’s Diana.

Mendengar nada genit di telepon, aku langsung teringat kejadian dua minggu lalu. “Oh, Tante Diana, ya? Maaf, Tante, tadi aku lagi nggak mood,” ujar aku buru-buru. “Tante main-main mulu.”

Tante Diana tertawa kecil. “Nggak mood, ya? Jadi sama Tante juga nggak mood? Padahal Tante mau ajak kamu ke rumah, lagi sepi nih. Tapi ya sudah, kalau gitu…”

“Bentar, Tante!” potong ku cepat. “Kalau sama Tante, aku langsung mood! Anak Tante nggak di rumah, ya?”

“Tenang aja,” jawabnya. “Dari sekarang, jam setengah satu, sampai sore jam lima, kita aman. Jadi, datang nggak?”

“Jadi dong, Tante! Tunggu sebentar, aku ke sana sekarang!” Aku buru-buru menutup telepon, gak mau buang waktu. Dengan cepat, aku masuk kamar, ganti baju, dan berlari keluar rumah. Rumah Tante Diana cuma 15 menit jalan kaki, tapi aku memilih naik angkot biar lebih cepat.

Sesampai di sana, aku langsung menuju pintu samping yang lebih sepi. Aku ketuk pelan, dan terdengar suara Tante Diana, “Iya, sebentar!” Dia membuka pintu, mengenakan kaos longgar dan celana pendek putih yang memperlihatkan bra dan celana dalam hitamnya. Jelas sekali dia sengaja menggoda. Aku berusaha tetap tenang, meski jantungan.

Tante Diana menyuruh saya mengikutinya. Tapi begitu melihat pinggulnya bergoyang, Aku gak tahan. Aku tarik dia dan langsung menciumnya. Dia membalas dengan penuh gairah, tapi tiba-tiba berbisik, “Jangan di sini, sayang.”

“Di mana, Tante?” tanya ku.

“Di kamar Tante aja,” jawabnya lembut.

Tanpa buang waktu, aku tarik tangannya dan kami bergegas ke kamar. Di sana, aku merebahkannya di ranjang. Tante Diana nampak begitu memikat. Aku menciumnya, dan dia membalas dengan hangat. Tangan ku mulai menjelajahi tubuhnya, meremas payudaranya yang masih terbungkus bra hitam. Tiba-tiba, dia mendorong ku dan dengan lincah naik ke atas tubuh ku, membuat payudaranya tepat di depan wajah ku.

Aku gak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, aku buka kaos dan bra-nya, lalu melumat payudaranya. “Ahh… enak, dino… terus…” desahnya, menandakan dia sudah terbawa suasana. Tante Diana kemudian membuka baju dan celanaku, menyisakan celana dalam. Aku membalikkan posisi, kini aku di atasnya. Dengan cepat, aku turunkan celananya, memperlihatkan kemaluannya yang terawat rapi, terbungkus celana dalam hitam. Aku lepaskan celana dalam itu, dan pemandangan di depan ku begitu indah, jauh lebih memikat dari yang pernah aku lihat sebelumnya.

Dengan lembut, aku mulai menjelajahi kemaluannya dengan lidah. Tante Diana mengerang, “Aduh, nikmat… terus, dino…” Aku tingkatkan permainan ku, dan tak lama kemudian, dia menjerit, “Tante sampai, no!” Saat cairannya keluar, aku hisap hingga tuntas, menikmati setiap detik.

Dengan nafas tersengal, Tante Diana berkata, “Beri Tante istirahat dulu, ya? Nanti Tante lanjutkan.” Saya mengangguk, “Iya, Tante.”

Setelah 15 menit, Tante Diana bangkit dan melepas celana dalam ku. Kemaluan ku, yang tadinya setengah tegang, langsung mengeras begitu dia mulai memanjakannya dengan mulutnya. Dia begitu terampil, kadang menggigit pelan, membuat ku gak kuasa menahan gairah. Gak tahan lagi, aku tarik tubuhnya dan membalikkan posisi. “Tante, aku nggak tahan. Boleh ku masukkan sekarang?” tanya ku, sudah sangat terangsang.

“Terserah kamu, sayang. Tapi hati-hati, ya, soalnya punya Tante udah lama nggak dipakai,” jawabnya.

Dengan hati-hati, aku arahkan kemaluan ku ke miliknya. Saat mulai masuk, Tante Diana menjerit, “Aduh, sakit! Pelan-pelan, sayang!” Aku juga merasa perih ini pertama kalinya aku melakukan ini. Tapi aku teruskan, perlahan memasukkan seluruhnya. Tante Diana mengerang, “Sakit… biarkan dulu di dalam, sayaaaang…”

Setelah beberapa menit, aku mulai menggerakkan pinggul secara berirama, dan Tante Diana mengimbangi dengan goyangan pinggulnya. “Sakit, tapi enak… terus, sayang…” katanya. Saya makin terbawa, gak mempedulikan apa pun selain kenikmatan. Delapan menit kemudian, Tante Diana menjerit, “Tante sampai, sayang!” Aku merasakan cairan hangat membasahi penis ku. Tak lama, aku juga mencapai puncak. “Aku sampai, Tante!” jerit ku, lalu ambruk di sampingnya, menikmati sisa-sisa kenikmatan.

Kami melakukannya tiga kali lagi dengan tempo cepat, saling memuaskan satu sama lain. Setelah mandi dan tenang, Tante Diana berkata, “Tante minta maaf, lo. Tante udah merenggut keperjakaan mu.”

Aku tersenyum, “Nggak apa-apa, Tante. Aku rela kok. Tapi Tante harus janji kasih aku kenikmatan kayak gini lagi!”

Dia tertawa, “Tante senang banget tadi. Tante janji, asal kamu juga bikin Tante keenakan lagi.” Aku mengangguk setuju.

Hubungan kami berlangsung hampir dua tahun, selalu dengan cara sederhana kami tak suka gaya yang terlalu eksperimental. Sekarang, hubungan itu mereda karena aku kuliah di luar kota, bersama anak Tante Diana. Tapi ini tetap rahasia kami. Setiap pulang kampung saat libur, Tante Diana selalu “minta jatah”, dan aku dengan senang hati melayaninya.

 

Author: admin