
Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus
Bab 1 – Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Tatapan di Koridor
Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Cerita Dewasa – Koridor kampus UI itu selalu ramai. Mahasiswa lalu lalang, dosen sesekali melintas, tetapi bagi Arhan, yang paling menonjol hanyalah satu: Azizah.
Ia duduk di bangku panjang dekat taman kecil, membuka buku yang sebenarnya tak pernah dibaca serius. Rambut panjangnya tergerai, sebagian menutupi wajah, tetapi cukup bagi Arhan untuk melihat sorot mata yang tenang sekaligus menusuk.
Arhan berpura-pura lewat, menunduk sambil memainkan ponsel. Namun detik itu juga, ia bisa merasakan sesuatu: tatapan Azizah yang mengikuti langkahnya. Sekejap, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Di balik tenangnya wajah Azizah, ada sedikit senyum yang nyaris tak terlihat. Senyum itu cukup membuat Arhan memutuskan satu hal: ia harus mendekat.
Bab 2 – Jam Kosong
Hari itu ada dosen yang absen. Mahasiswa berhamburan keluar kelas, sebagian memilih kantin, sebagian lagi nongkrong di taman. Arhan melangkah pelan, lalu berhenti ketika melihat Azizah duduk sendirian di ruang kelas yang kosong.
“Sendirian aja?” suara Arhan lirih, tetapi cukup untuk membuat Azizah mengangkat kepala.
Azizah menutup bukunya. “Lebih enak sepi begini. Bisa mikir.”
“Mikir apa?” Arhan duduk satu bangku di sampingnya.
“Mikir kenapa ada yang berani ngajak aku ngobrol waktu jam kosong.” Bibirnya tersenyum kecil, tatapannya menantang.
Arhan tertawa, gugup tetapi juga tertarik. “Ya, mungkin karena aku nggak suka buang kesempatan.”
Mata mereka bertemu. Ruang kelas itu terasa lebih sunyi daripada sebelumnya.
Bab 3 – Bisikan di Perpustakaan
Beberapa hari setelahnya, Arhan kembali menemukan celah. Perpustakaan kampus, sore hari. Sunyi, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk mengetik. Azizah berdiri di rak buku, menggeser-geser jari di punggung buku, seolah memilih.
Arhan mendekat dari belakang. “Kayaknya kamu lebih sering nyari buku daripada orang lain ya?” bisiknya.
Azizah sedikit terkejut, tetapi tak menepis. Ia menoleh, menatap Arhan begitu dekat. “Dan kamu lebih sering nyari aku daripada nyari buku, kan?”
Jarak di antara mereka hanya beberapa jengkal. Bau parfum Azizah bercampur dengan aroma buku tua, menempel kuat di kepala Arhan. Mereka berdua tahu, tempat itu bukan sekadar perpustakaan lagi—tetapi medan tarikan yang makin sulit dihindari.
Bab 4 – Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Sentuhan Pertama
Jam kosong lagi. Kali ini, Arhan dan Azizah duduk di tribun lapangan basket kampus yang sepi. Matahari sore jatuh miring, menyinari wajah Azizah.
Arhan menatapnya lama. “Kenapa aku selalu ngerasa waktu berhenti kalau sama kamu?”
Azizah tertawa kecil. “Kamu tau nggak, rayuan kamu itu… bikin orang susah nolak.”
Sebuah angin sore berhembus. Rambut Azizah tergerai ke wajahnya. Tanpa banyak pikir, Arhan menggeser perlahan, merapikan helai rambut itu dengan ujung jarinya. Sentuhan pertama. Ringan, singkat, tetapi cukup membuat udara di antara mereka membara.
Azizah tak menepis. Ia hanya menunduk, kemudian berkata pelan, “Kamu nggak tau apa yang kamu mulai, Han.”
Bab 5 – Di Balik Pintu Tertutup
Hari itu, hujan deras. Sebagian besar mahasiswa memilih pulang. Ruang kelas sepi, kecuali satu: Azizah, yang sengaja menunggu hujan reda.
Arhan masuk dengan langkah tergesa, sedikit basah karena berlari. “Boleh nebeng nunggu di sini?”
Azizah mengangguk, menatapnya dengan senyum samar.
Pintu ruang kelas tertutup rapat. Suara hujan di luar menjadi musik latar. Di dalam, hanya ada mereka berdua. Arhan duduk di dekatnya, begitu dekat hingga lutut mereka hampir bersentuhan.
Detik itu juga, mereka tahu—batas mulai kabur. Tatapan mereka lama, napas terasa semakin berat. Azizah meremas bukunya erat-erat, seakan melawan sesuatu dalam dirinya.
Arhan mencondongkan badan. “Kamu nggak keberatan kalau aku makin dekat?” bisiknya.
Azizah menutup mata, suaranya hampir tak terdengar. “Coba aja…”
Bab 6 – Napas di Jendela
Hujan masih turun deras sore itu. Ruang kelas sudah kosong, hanya lampu neon yang berkelip redup di langit-langit. Arhan dan Azizah masih di sana, duduk berdampingan.
Azizah menatap keluar jendela, mengikuti butir hujan yang jatuh menuruni kaca. “Aneh ya… kampus jadi berasa dunia lain kalau lagi sepi gini.”
Arhan menoleh, menatap wajahnya dari samping. Cahaya putih lampu memantul di kulit Azizah, membuat garis lehernya tampak semakin jelas. Napas Arhan terasa lebih berat, seakan-akan setiap detik dekat dengannya membuat tubuhnya mendesak sesuatu yang tak bisa ditahan.
“Bukan kampusnya yang bikin aneh,” suara Arhan rendah, serak. “Orangnya.”
Azizah menoleh cepat, mata mereka bertemu. Sekejap, dada Azizah naik turun lebih cepat.
Arhan meraih tangan Azizah yang sejak tadi sibuk meremas buku. Kemudian jari-jari mereka saling bersentuhan, lalu terkunci. Azizah terdiam, tetapi genggaman tangannya sama sekali tidak menolak.
Di luar, kilatan petir membelah langit. Di dalam, jarak di antara mereka makin mengecil. Hanya beberapa inci, hanya perlu satu tarikan napas lagi.
“Han…” bisik Azizah, suaranya bergetar.
Arhan menunduk, semakin dekat. “Ya?”
“Kalau ada yang lihat—”
Arhan memotong, suaranya tegas tetapi hangat. “Biarin. Aku nggak peduli.”
Mereka terdiam sejenak. Kemudian, tanpa aba-aba, Arhan menempelkan keningnya di kening Azizah. Napas keduanya bercampur, membasahi kulit yang memanas.
Azizah menutup mata, dan untuk pertama kalinya, ia tak lagi melawan.
Bab 7 – Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Rahasia di Lorong
Keesokan harinya, jam kosong lagi. Mahasiswa lain sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi Arhan sudah tahu ke mana harus melangkah. Lorong gedung F, lantai atas, selalu sepi ketika dosen rapat.
Ia menemui Azizah yang sudah lebih dulu berdiri di sana, bersandar di dinding dekat jendela panjang. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah menunggu Arhan datang.
“Kenapa bisa pas banget kita selalu ketemu di jam kosong?” tanya Arhan.
Azizah menjawab singkat, “Mungkin karena kita sama-sama nyari alasan.”
Hening sebentar. Hanya suara langkah mahasiswa jauh di bawah sana.
Arhan mendekat, kemudian menempelkan telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala Azizah. Kini jarak mereka hanya sehelai rambut. Azizah menahan napas, menunduk sejenak, lalu berani mengangkat wajahnya lagi.
“Han… kalau kita terusin, nggak akan ada yang bisa kita sembunyiin,” katanya pelan.
Arhan tersenyum samar, lalu berbisik di telinganya, “Aku nggak pengen sembunyi.”
Dan di lorong sunyi itu, Arhan mengecup pipi Azizah begitu cepat—tetapi cukup untuk membuat tubuhnya bergetar.
Bab 8 – Bisikan di Perpustakaan
Sore berikutnya, mereka kembali bertemu di perpustakaan. Ruangan itu sepi, hanya ada suara AC yang mendengung pelan. Azizah duduk di meja paling pojok, sementara Arhan menghampirinya dengan setumpuk buku di tangan, pura-pura serius.
“Beneran belajar?” sindir Azizah, mengangkat alis.
“Belajar kamu,” jawab Arhan setengah bercanda, setengah serius.
Azizah terkekeh pelan, lalu menutup bukunya. Tatapannya tajam menusuk, tetapi di baliknya ada sesuatu yang bergetar.
Arhan mencondongkan tubuh, cukup dekat hingga bisikannya menyapu telinga Azizah.
“Setiap kali kamu ada di dekatku… aku nggak bisa mikir apa-apa lagi.”
Azizah menutup matanya sesaat. Getaran suara itu membuat bulu kuduknya berdiri. Saat ia membuka mata, Arhan sudah menatapnya lekat-lekat.
Jika ada orang lewat, mereka pasti tampak hanya seperti dua mahasiswa yang serius belajar. Tetapi bagi keduanya, itu adalah pertemuan penuh arus listrik yang makin liar.
Bab 9 – Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Di Balik Tirai Aula
Hari itu ada kegiatan kampus di aula besar. Namun saat acara bubar, Arhan menemukan celah. Ia menarik tangan Azizah masuk ke balik tirai besar di sisi panggung.
“Han, gila… ada orang bisa lihat,” bisik Azizah, panik tetapi tak benar-benar menolak.
“Tenang aja,” Arhan menempelkan jari ke bibirnya. “Cuma sebentar.”
Gelap di balik tirai, hanya ada cahaya samar dari sela-sela kain. Mereka berdiri begitu dekat, dada bertemu dada.
Arhan meraih pinggang Azizah, menahan tubuhnya agar tak menjauh. Azizah terdiam, matanya menatap penuh perlawanan yang hampir runtuh.
“Aku nggak ngerti kenapa harusnya kita jauh… tetapi malah selalu makin dekat,” gumam Azizah.
“Karena kita memang ditarik ke sini,” jawab Arhan, kemudian menunduk, bibirnya nyaris menyentuh bibir Azizah.
Tirai bergoyang sedikit karena angin AC. Dunia di luar panggung tetap ramai, tetapi di balik kain tipis itu, dunia mereka sendiri sedang terbentuk.
Bab 10 – Nafas yang Sama
Malam itu, kampus sudah hampir kosong. Arhan dan Azizah duduk di kelas gelap, hanya diterangi cahaya dari jendela. Sunyi, kecuali suara jangkrik dari taman.
Arhan duduk di kursi depan, sementara Azizah berdiri, menatapnya.
“Kenapa kita selalu cari waktu di sela-sela jam kosong?” tanya Azizah.
“Karena itu satu-satunya waktu aku bisa milikin kamu,” jawab Arhan mantap.
Azizah terdiam. Lalu perlahan, ia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Arhan. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh wajah Arhan, tetapi sorot matanya sudah bulat.
“Aku takut… tetapi aku juga nggak pengen berhenti,” ucapnya.
Arhan berdiri, membalas genggaman tangannya. “Kita nggak perlu berhenti.”
Dan malam itu, di ruang kelas yang sunyi, keduanya tenggelam dalam napas yang sama. Tak ada lagi batas, tak ada lagi jarak. Hanya mereka berdua, terseret dalam arus yang tak terelakkan.
Bab 11 – Jam Kosong Penuh Gairah di Kampus – Rahasia yang Hampir Terbuka
Setelah kelas kosong itu, napas keduanya masih tersengal ketika mereka buru-buru merapikan diri. Azizah menatap Arhan dengan wajah memerah, rambutnya sedikit berantakan.
“Han… tadi kalau ada yang masuk, kita habis,” ucapnya masih gelisah.
Arhan tersenyum nakal, menepuk pelan dagunya. “Tetapi worth it kan?”
Azizah hanya memalingkan wajah, tetapi senyum kecilnya mengkhianati jawabannya.
Mereka keluar dari kelas, namun baru beberapa langkah di koridor, suara sepatu seorang dosen membuat Azizah panik. Ia buru-buru menarik Arhan masuk ke lorong kecil di dekat ruang laboratorium.
Tubuh mereka kembali saling menempel di tembok sempit itu, jantung berdegup kencang karena hampir ketahuan. Napas Azizah memburu, begitu dekat hingga terasa menghangatkan leher Arhan.
“Han… sumpah aku takut ketahuan,” bisiknya.
Arhan menatap matanya dalam-dalam. “Kalau pun ketahuan, aku bakal tanggung semua. Kamu nggak usah takut.”
Kalimat itu membuat dada Azizah bergetar. Rasa takut bercampur dengan rasa aman yang justru membuatnya makin tenggelam. Ia hanya bisa menutup mulut Arhan dengan ciuman cepat—singkat tetapi penuh arti.
Bab 12 – Hujan, Titik Balik
Sore itu hujan turun deras. Kampus sudah mulai sepi, mahasiswa satu per satu pulang. Tetapi Arhan dan Azizah masih bertahan di balkon lantai dua gedung fakultas.
Air hujan membasahi seragam praktikum mereka yang masih melekat, menambah suasana semakin intens. Azizah berdiri membelakangi pagar balkon, sementara Arhan mendekat, wajahnya serius.
“Za, aku nggak mau hubungan kita cuma sembunyi-sembunyi begini. Aku serius sama kamu.”
Kemudian Azizah menelan ludah, suaranya bergetar. “Tetapi… kalau orang lain tahu—”
“Aku nggak peduli!” potong Arhan cepat, lalu menempelkan keningnya ke kening Azizah. “Aku bakal lawan semuanya, asal kamu mau tetap di sisiku.”
Azizah terdiam. Hujan deras menutupi suara detak jantungnya sendiri. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu batas sudah lama mereka lewati. Tak ada lagi jalan untuk mundur.
Dengan mata berkaca, ia akhirnya meraih wajah Arhan dan membalas ciuman panjang yang tak lagi bisa dihentikan. Ciuman itu berbeda—bukan sekadar gairah, tetapi keputusan.
Dan di tengah hujan deras di balkon kampus itu, keduanya tahu: mereka sudah melangkah ke jalan tanpa kembali.