
MALAM ITU..
Bagian 1 – Terjebak
Cerita dewasa. Namaku Alex, umur 27 tahun. Pekerjaanku di Jakarta sebagai desainer grafis jarang memberiku waktu luang. Jadi ketika cuti beberapa hari, aku memutuskan pulang ke Surabaya, sekadar mencari udara dingin yang menenangkan.
Sore menjelang malam itu, hujan turun deras sekali. Aku memilih berteduh di sebuah kafe kecil di kawasan tunjungan, kafe yang sering kupakai untuk menyendiri sambil merancang sketsa atau menulis catatan kecil. Aroma kopi selalu jadi obat untuk pikiranku.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul delapan malam ketika hujan malah semakin deras. Angin kencang berembus, dan tiba-tiba… listrik padam. Hanya cahaya lilin kecil di meja yang membuat ruangan tidak sepenuhnya gelap.
Aku sempat menghela napas panjang, menatap keluar jendela yang penuh butiran air. Saat itulah pintu kafe terbuka, suara lonceng kecil berdenting, dan seorang perempuan masuk. Rambutnya agak basah, jaket kulit tipis menempel erat di tubuhnya, dan langkahnya cepat seakan ingin segera mencari kehangatan.
Aku hanya melirik sekilas, sampai matanya yang bening itu bertemu dengan tatapanku. Dia tersenyum tipis, lalu memilih duduk di meja seberang. Tapi karena kafe itu sudah hampir kosong, hanya ada aku, dia, dan satu barista yang sibuk di belakang, akhirnya suasana jadi hening sekali.
Beberapa menit kemudian, dia menoleh sambil berkata pelan:
“Kayaknya… kita bakal terjebak di sini agak lama.”
Nada suaranya ringan, tapi senyum di bibirnya membuat dadaku bergetar aneh. Aku balas tersenyum, lalu mengangguk.
“Sepertinya begitu,” jawabku. “Tapi nggak buruk kan? Dingin di luar, hangat di dalam.”
Dia tertawa kecil, dan entah bagaimana aku merasa sudah mengenalnya lama sekali.
Bagian 2 – Percakapan malam itu
Kami mulai berbincang. Namanya Stella, 23 tahun, seorang ilustrator buku anak yang baru selesai mengajar workshop di Surabaya. Obrolan kami awalnya ringan—tentang hujan, tentang kopi, tentang kota yang kami cintai di malam itu.
Tapi semakin lama, pembicaraan itu makin dalam. Nadia bercerita tentang pekerjaannya, tentang kesepiannya tinggal di kota besar, dan tentang kebebasan yang ia cari. Aku mendengarkan, dan entah mengapa, rasanya setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti nada yang sudah lama kutunggu.
Kadang-kadang, matanya menatapku lama. Ada sesuatu di tatapan itu—campuran antara penasaran, lelah, dan hangat. Tangannya sesekali menyibak rambut basah yang menempel di pipinya. Gerakan sederhana itu saja sudah cukup untuk membuatku menelan ludah.
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku kaget. “Aku? Enggak, cuma… aku merasa baru pertama kali ngobrol sama orang asing, tapi rasanya udah kenal lama.”
Stella terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku juga ngerasain hal yang sama.”
Bagian 3 – Mendekat
Karena malam itu hanya ada cahaya lilin di setiap meja, suasana kafe terasa sangat intim. Barista pun akhirnya pamit, meninggalkan kami berdua saja.
“Kamu nggak apa-apa sendirian di sini?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Nggak masalah. Selama ada kamu.”
Kalimat sederhana itu membuat jantungku berdegup kencang. Aku merasa harus pindah tempat duduk, jadi aku mendekat, duduk di meja yang sama dengannya.
Kini jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang samar bercampur dengan aroma hujan. Tangannya diletakkan di atas meja, dan tanpa sadar jemariku bergerak menyentuh ujung jarinya.
Dia tidak menolak. Bahkan, ia menoleh padaku, menatap dalam, lalu tersenyum kecil.
“Alex…” bisiknya.
Aku tidak menjawab. Hanya menatap balik. Rasanya dunia berhenti, hanya ada kami berdua, tatapan yang tak bisa dipalingkan, dan denyut jantung yang saling mendekat.
Bagian 4 – Sentuhan
Entah siapa yang lebih dulu bergerak, tapi tiba-tiba tangan kami sudah saling menggenggam erat. Hangat. Tegang. Nyaman sekaligus menegangkan.
Nadia menunduk, lalu menarik napas panjang. “Aku nggak tau kenapa… rasanya pengen deket sama kamu.”
Aku meraih dagunya perlahan, membuatnya menatapku lagi. “itu juga yang ku rasain.”
Lalu, tanpa banyak kata, bibir kami bertemu. Lembut, ragu di awal, tapi kemudian semakin dalam. Suara hujan deras di luar menjadi musik pengiring. Lidah kami saling mencari, dan genggaman tangan kami semakin kuat.
Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar. Ia mendekapku erat, seakan takut kehilangan momen ini di malam itu.
Bagian 5 – Malam yang Mengikat itu
Kami tidak tahu berapa lama kami saling berciuman. Yang jelas, ketika akhirnya terlepas, wajahnya memerah, matanya berbinar, dan bibirnya sedikit bergetar.
“Gila,” katanya pelan. “Aku baru kenal kamu beberapa jam di malam ini, tapi itu rasanya aku udah… terlalu dekat.”
Aku tersenyum, mengusap pipinya dengan lembut. “Kadang perasaan nggak butuh waktu lama, Nad. Malam ini buktinya.”
Dia meletakkan kepalanya di bahuku, dan aku memeluknya erat. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam dada kami, ada kehangatan yang jauh lebih deras.
Kami terus berbincang, berciuman lagi, tertawa, lalu diam hanya untuk saling memandang. Tidak ada yang lebih sensual dari momen sederhana itu: tatapan, bisikan, dan sentuhan.
Bagian 6 – Setelah Hujan
Sekitar tengah malam itu, listrik kembali menyala. Hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan.
“Aku harus pulang,” kata Stella, meski matanya enggan beranjak.
“Aku antar.”
Kami berjalan keluar kafe. Jalanan masih basah, lampu jalan berkilau di genangan air. Sebelum berpisah, dia menatapku lama, lalu berbisik:
“Alex… jangan anggap malam ini mimpi ya. Aku pengen kita ketemu lagi.”
Aku tersenyum, lalu mengecup keningnya. “iya janji, Stel. Malam ini bukan mimpi.”
Dia pun melangkah pergi. Aku menatap punggungnya yang perlahan hilang di tikungan jalan, sementara hatiku masih terasa penuh di malam itu.
Epilog
Malam itu bukan sekadar hujan. Malam itu adalah malam ketika dua orang asing bertemu, saling jatuh dalam godaan, dan meninggalkan jejak yang tidak akan pernah hilang.
Dan sampai sekarang, setiap kali hujan turun, aku selalu ingat tatapan matanya… dan sentuhan hangatnya di malam hujan itu.
Bagian 7 – Janji yang Ditepati
Seminggu setelah malam hujan itu, pikiranku masih sering kembali ke tatapan Stella. Nomor teleponnya sudah kusimpan, tapi aku sengaja menahan diri untuk tidak menghubunginya terlalu cepat. Hingga akhirnya, sebuah pesan masuk:
“Alex… kamu sibuk malam ini?”
Jantungku langsung berdegup. Malam itu juga aku menjawab, dan kami sepakat bertemu lagi di tempat yang berbeda—sebuah galeri seni kecil di Surabaya, yang katanya sedang mengadakan pameran ilustrasi.
Begitu aku tiba, Stella sudah ada di sana. Rambutnya diikat rapi, mengenakan gaun sederhana berwarna biru, dengan jaket jeans di bahunya. Dia tampak lebih cantik dari yang kuingat.
“Alex,” katanya sambil tersenyum. “Aku takut kamu nggak datang.”
Aku mendekat, menatapnya dalam. “Janji nggak pernah aku ingkari, Stel.”
Bagian 8 – Galeri yang Sunyi
Kami berjalan menyusuri ruangan galeri yang sepi. Hanya ada beberapa pengunjung lain, dan suara langkah kaki kami berdua bergema pelan di lantai marmer.
Nadia bercerita tentang karya-karya ilustrasi di dinding, sesekali menghubungkannya dengan kehidupannya sendiri. Aku lebih banyak mendengarkan, tapi dalam hati, aku lebih sibuk mengamati dirinya daripada lukisan-lukisan di malam itu.
Tangannya sesekali menyentuh lenganku saat menunjuk sesuatu, dan setiap kali itu terjadi, ada arus listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku.
“Aku suka suasana sepi kayak gini,” bisiknya.
“ku pun mengangguk. ” . Rasanya dunia cuma milik kita berdua.”
Dia menoleh, dan tatapan kami terkunci. Ada keheningan yang begitu padat, hingga tanpa sadar aku meraih tangannya.
Dia tidak menarik diri. Malah semakin merapat.
Bagian 9 – Malam di Apartemen
Setelah galeri tutup, kami memutuskan untuk tidak langsung pulang. “Temenin aku sebentar, ya,” kata Stella.
Kami akhirnya menuju apartemennya. Sebuah unit sederhana di lantai enam, dengan balkon menghadap kota Surabaya yang berkilau lampunya.
“Aku jarang bawa orang ke sini,” ucapnya sambil meletakkan jaketnya. “Tapi entah kenapa… aku pengen kamu ada di sini malam ini.”
Aku hanya bisa tersenyum. Ada degup yang sulit kujelaskan.
Kami duduk di sofa, awalnya membicarakan hal-hal remeh: musik, buku, dan perjalanan. Tapi perlahan, percakapan itu memudar, berganti dengan tatapan yang terlalu lama, senyum yang terlalu dekat, dan jeda yang terlalu dalam.
Akhirnya, tanpa ragu, aku meraih wajahnya dan menciumnya.

Bagian 10 – Gelora yang Tertahan
Ciuman itu berbeda dari sebelumnya. Jika di kafe kami masih ada keraguan, kali ini ada keberanian. Malam itu, Bibirnya hangat, lembut, namun penuh tuntutan. Tangannya melingkar di leherku, menarikku lebih dekat.
Aku bisa merasakan napasnya yang cepat, tubuhnya yang bergetar dalam pelukanku. Saat aku menyusuri rambutnya dengan jemariku, Stella mendesah pelan—sebuah suara yang membuat darahku berdesir lebih kencang.
“Kamu bikin aku gila, Alex,” bisiknya di sela ciuman.
Aku menatap matanya yang berbinar, lalu menjawab lirih, “Kamu juga, Stel. Aku nggak bisa berhenti pengen deket sama kamu.”
Kami terus saling memeluk, saling meraba, tapi tetap menahan diri agar tidak terburu-buru. Justru di sanalah letak sensasinya—ketegangan yang manis, hasrat yang menunggu, dan rasa yang semakin membakar.
Bagian akhir – Di Bawah malam Cahaya Kota itu
Akhirnya, kami berhenti sejenak, berdiri di balkon apartemennya. Angin malam Surabaya menyentuh wajah kami, sementara cahaya lampu kota berkelip di kejauhan.
Stella berdiri di depanku, rambutnya sedikit berantakan, pipinya memerah. Ia menatapku lama, lalu berkata:
“Malam itu di kafe… aku pikir cuma momen sesaat. Tapi ternyata aku pengen lebih dari itu.”
Aku menggenggam tangannya, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Aku juga. Malam ini, aku nggak mau sekadar jadi kenangan.”
Dia memejamkan mata, menyandarkan kepalanya di dadaku. Kami berdiam lama, membiarkan keheningan kota jadi saksi.
Dan di sanalah aku sadar—kisah ini sudah jauh melewati batas sebuah pertemuan kebetulan. Ini bukan lagi tentang hujan yang mempertemukan kami, tapi tentang dua hati yang sudah memilih untuk saling mendekat.
Epilog Sementara
Malam itu berakhir dengan sederhana: pelukan, ciuman, dan janji untuk bertemu lagi. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada yang harus dipaksa.
Tapi ada satu hal yang pasti: setiap kali aku memejamkan mata, aku bisa merasakan hangat tubuhnya, aroma rambutnya, dan bisikan lembut di telingaku.
Dan sejak malam itu, aku tahu—perjalanan kami baru saja dimulai.