Pandang Pertama

Pandang Pertama

Namaku Wahyu, usiaku 24 tahun, dan duniaku berputar di sekitar simpan pinjam di Subang sebagai seorang depkolektor. Suatu hari di tahun 2023, takdir membawaku ke sebuah bengkel mobil di Subang kota jawa barat. Aku hanya berniat mengantar mobil teman untuk diservis, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mengubah hari itu.

Saat aku sedang mendaftar, mataku tak sengaja menangkap sosok seorang wanita. Belakangan aku tahu namanya Asfi, dan ia bekerja sebagai Lady Service Advisor di sana. Kulitnya sawo matang, parasnya manis, dan sejujurnya, yang paling menarik perhatianku adalah lekuk tubuhnya yang proporsional.

Ketika aku menatapnya, ia pun tanpa sengaja menoleh ke arahku. Pandangan kami bertemu, dan entah mengapa, ada getaran aneh yang menjalar di dadaku. Aku membalas tatapannya dengan senyum, dan ia menunduk malu. Sekitar satu jam kemudian, mobil teman selesai diservis. Saat kami menuju kasir, Asfi sudah duduk di sana. Lagi-lagi, pandangan kami bertemu. Aku kembali melempar senyum manisku, dan kali ini, jantungku berdegup kencang saat ia membalas senyumku. Ya Tuhan, rasanya luar biasa.

Sesampainya di rumah, setelah temanku pamit, aku tak bisa menahan diri. Nomor telepon bengkel kudapatkan dari kwitansi pembayaran. Aku menelepon, meminta berbicara dengan Asfi. “Halo, dengan siapa ini?” Suaranya di seberang telepon begitu seksi, menggetarkan.

“Ini Wahyu,” kataku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. “Saya yang tadi servis mobil dengan teman saya, yang tadi pandangan dengan kamu. Boleh saya berkenalan dengan kamu?”

“Oh, Aa Wahyu. Iya, saya ingat, ak. Ada keperluan apa, Aa?” tanyanya. Gadis ini, pikirku, benar-benar memancing rasa penasaranku.

“Saya ingin kenalan sama kamu, dan kalau mungkin, saya berharap kita bisa ketemu lagi,” jawabku.

“Memangnya kenapa Aa mau ketemu saya lagi?” tanyanya, ada nada geli dalam suaranya.

“Karena kamu cantik, dan saya tertarik sama kamu sejak pertama memandang kamu tadi,” kataku, memutuskan untuk langsung blak-blakan.

Asfi tertawa kecil. “Aa pintar merayu, ya. Tapi hari ini saya tidak bisa. Bagaimana kalau besok lusa Aa temui saya sepulang kerja, di bengkel sekitar jam 18.00? Oke?”

“Oke deh!” jawabku tanpa pikir panjang.

Di luar dugaanku, Asfi justru mengatakan bahwa ia sangat ingin belajar menyetir mobil. Jadi, kami pun langsung meluncur ke Parkiran yang ada di sebuah mall sepi, tempat yang biasa digunakan untuk belajar mengemudi. Aku bertukar tempat duduk dengannya, dan Asfi mulai berkeliling. Tiba-tiba, sebuah mobil di depan kami, yang juga sedang belajar, mengerem mendadak. Asfi reflek menginjak rem, dan mesin mobil pun mati.

“Aduuh!” pekik Asfi. Dadanya membentur setir. “Dada saya nyeri, Ak,” keluhnya.

Aku segera bertukar tempat duduk lagi dan menepikan mobil. Aku memeriksa dadanya, dan entah bagaimana, tanganku menyentuh payudaranya. Asfi merintih pelan. “Aahh, Aa,” desahnya.

Mendadak, gairahku melonjak. Aku menciumi lehernya, lalu turun ke dadanya. Dengan cepat, kubuka bra-nya, dan mataku terbelalak melihat betapa penuhnya payudaranya. Aku semakin tak terkendali. Kubelai putingnya, kucium, kugigit kecil, terus turun ke perut dan pusarnya. Ciumanku terhalang celana dalamnya. Aku menariknya ke bawah, lalu menciumi area selangkangannya, bibir vaginanya, klitoris, dan bagian dalamnya. Aroma khas tubuhnya menyeruak ke hidungku.

Aku merasakan kelembaban di liang vaginanya. Asfi mendesah, “Ooohh… terus, sayang… kamu hebat sekali… aahh terus, Arya…”

Aku menarik kepalaku, terkejut. “Siapa Arya?” tanyaku.

Namun, rupanya “foreplay” yang kulakukan sudah membuat Asfi amat terangsang, terutama ketika aku menciumi belakang telinganya. Asfi meronta, merintih, menggeliat, sambil tangannya membuka paksa kemeja dan celana jinsku. Ssstt, dua kancing kemejaku bahkan sampai lepas.

Karena kurang leluasa di jok depan, kami pindah ke jok belakang mobil. Asfi merintih, “Aaaaa… buka dong celana dalam kamu… dedek sudah pengen banget nih… ayo, sayang.”

Aku yang juga sudah di puncak gairah segera membuka celana dalamku. Kuarahkan penisku yang sudah sangat tegang ke liang vagina Asfi. Perlahan, kubenamkan. “Bleess… ampun, nikmatnya!” Aku merasakan vagina Asfi begitu basah, sehingga penisku dengan mudah bergerak keluar masuk berirama. Aku merasakan hisapan di dalam sana. Asfi menggeliat, meronta, menendang, dan akhirnya, sambil menggigit kuat bahuku, Asfi mendesah panjang. Bersamaan dengan itu, kurasakan cairan membasahi penisku jauh di dasar vagina Asfi.

Asfi tersenyum puas. “Kamu hebat, Ak. Punyamu jauh lebih hebat dari punya pacarku.”

Baru saat itu aku tahu bahwa Arya adalah pacar Asfi. Tapi siapa peduli? Gadisnya sendiri yang menginginkannya. Aku yang belum ejakulasi kemudian meminta Asfi untuk “nungging” (agak sulit juga posisi ini di dalam mobil). Kutusukkan penisku, selangkanganku beradu dengan pantatnya. Gerakan kami makin cepat, cepat, dan akhirnya aku tak tahan lagi. Sambil mencengkeram kuat bahu dan rambut Asfi, kusemprotkan seluruh cairan maniku dalam vaginanya. “Creett… creett…” Ahh, nikmatnya.

Setelah itu, kami berbaring bertindihan, berciuman lama dan penuh nafsu. Sekitar pukul 22.00, kuantar Asfi pulang ke tempat kosnya di dekat sebuah lapangan merdeka di Subang jawa barat. Di luar tempat kosnya, kulihat seorang pria sedang duduk menunggu.

“Siapa dia, Asfi?” tanyaku.

“Itu dia Arya, cowokku,” jawab Asfi tersenyum.

“Kamu begituan juga sama dia?” tanyaku.

“Iya, tapi punya dia enggak seenak punya kamu, Wahyu. Baru tiga menit juga dia sudah keluar. Payah,” kata Asfi.

“Dasar nakal kamu,” kataku, sambil tersenyum.

Kami berciuman perpisahan, dan Asfi pun masuk ke rumah kosnya. Aku pulang, dan dalam perjalanan, aku tersenyum sendiri membayangkan pengalaman barusan. Kasihan si Arya, tapi Asfi memang luar biasa. Sekarang kudengar Asfi sudah menikah dengan Arya, kata Rina, adiknya yang bekerja di Wisma Nusantara. Kami masih “berhubungan”, tentunya sekarang ekstra hati-hati karena ada si “bloon” Arya, suami Asfi.

 

Author: admin