
Studio Foto Pemuas Birahi
Bab 1 – Pertemuan di Café
Studio foto pemuas birahi. Cerita dewasa. Hujan turun sore itu, menetes pelan di kaca Kopi Nako, cafe kecil di sudut kota. Deni duduk dengan laptopnya, mencoba merapikan hasil foto untuk klien. Bau kopi hitam pekat menemaninya.
Di seberang ruangan, duduklah seorang gadis ber-sweater abu-abu, rambut hitam panjangnya tergerai lembut. Dinda. Kemudian ia tersenyum pada temannya, tawa kecilnya memecah hening. Namun Deni tanpa sadar menatap lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu yang menahan pandangannya—mata Dinda yang sesekali melirik balik.
Pertemuan pertama itu sederhana. Hanya saling senyum, hanya sapaan singkat saat sama-sama membayar di kasir. Tetapi hati Deni bergetar, seolah alam baru saja menanamkan benih rahasia di antara mereka.
Bab 2 – Studio Foto Pemuas Birahi – Ajakan Fotografer
Beberapa hari kemudian, Deni tak bisa melupakan wajah itu. Dengan sedikit nekat, ia mendapatkan nomor Dinda dari temannya. Pesannya singkat:
“Besok sore golden hour di danau. Mau aku fotoin?”
Dinda membaca pesan itu berkali-kali. Ia jarang difoto, apalagi oleh pria asing yang baru dikenalnya. Tetapi ada sesuatu pada Deni—tatapan hangat, nada suara yang tenang—membuatnya ingin mencoba.
“Oke. Besok ketemu.”
Jawaban sederhana itu membuat dada Deni berdebar. Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.
Bab 3 – Studio Foto Pemuas Birahi – Senja di Danau
Danau sore itu berkilau keemasan. Dinda berdiri di tepi air, canggung di depan kamera.
“Relaks aja. Anggap lagi jalan-jalan,” ujar Deni, mencoba mencairkan suasana.
Ia merapikan helai rambut Dinda yang tertiup angin. Sentuhan kecil itu membuat pipi Dinda merona. Klik! Kamera menangkap senyumnya yang gugup namun tulus.
Deni berusaha fokus pada bidikan, tetapi setiap kali menekan shutter, matanya lebih banyak menikmati sosok Dinda ketimbang hasil fotonya. Ada sesuatu yang tumbuh—lebih dari sekadar ketertarikan visual.
Bab 4 – Studio Foto Pemuas Birahi – Studio Rahasia
Setelah sesi itu, pertemuan mereka semakin sering. Dinda mulai datang ke studio kecil Deni—ruangan sederhana dengan dinding penuh foto. Awalnya untuk latihan pose, lama-lama berubah jadi obrolan panjang hingga malam.
Mereka berbagi cerita. Tentang kegagalan cinta, tentang kesepian yang tak terucap, tentang mimpi yang terpendam. Dinda menemukan kenyamanan di balik tatapan Deni yang tulus.
Kadang mereka tertawa sampai lupa waktu. Kadang hening, hanya duduk bersebelahan sambil memandang hasil foto. Tetapi justru dalam hening itu, ada rasa yang semakin tumbuh, meski belum ada kata yang terucap.
Bab 5 – Malam Hujan
Suatu malam, hujan deras mengguyur. Namun Dinda terjebak di studio setelah sesi foto. Listrik padam, hanya lilin yang menyala.
“Kayaknya kita nggak bisa pulang dulu,” kata Deni sambil menyalakan lilin di meja.
Dinda tersenyum canggung, menatap cahaya yang bergetar. Hening mendominasi ruangan, hanya suara hujan yang menetes.
“Dinda…” suara Deni akhirnya pecah.
“Hm?”
“Aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku suka kamu.”
Hening. Dinda menatap matanya, melihat ketulusan sekaligus ketakutan. Sebelum sempat berpikir panjang, Deni mendekat, meraih wajahnya, lalu menempelkan bibir ke bibirnya.
Hangat. Lembut. Dinda kaget, tetapi tubuhnya tak menolak. Ia membalas pelan, lalu semakin dalam. Malam itu, batas pertama pun runtuh.
Bab 6 – Sentuhan yang Membakar
Ciuman mereka makin dalam. Nafas berkejaran. Kemudian tangan Deni menelusuri punggung Dinda, seolah-olah tubuhnya bergetar hebat.
“Deni… ini salah…” bisik Dinda di sela desah.
“Kalau salah, tetapi kenapa rasanya begini benar?” jawab Deni.
Sweater Dinda basah oleh keringat dan hujan. Setelah itu Deni melepaskannya perlahan, memperlihatkan kulit putih yang berkilau diterpa cahaya lilin. Dinda menutup wajah dengan tangan, malu, tetapi tak beranjak.
Bibir Deni menelusuri lehernya. Dinda menggigit bibir, mencoba menahan suara yang ingin keluar. Setiap sentuhan terasa seperti api yang membakar seluruh sarafnya.
Bab 7 –Studio Foto Pemuas Birahi – Malam Rahasia
Setelah itu mereka berpindah ke sofa. Lilin menjadi saksi. Kemudian Deni menyingkap kain tipis yang tersisa, jemarinya menyusuri lekuk tubuh yang rapuh sekaligus indah.
Dinda memejamkan mata, tubuhnya bergetar. Setiap belaian membuatnya tenggelam lebih dalam. Nafasnya memburu, bibirnya berdesah menyebut nama Deni.
Namun di antara derasnya hujan, tubuh mereka menyatu. Ritme yang diciptakan seakan hanya mereka berdua yang mengerti. Pelukan itu, meski terlarang, memberi rasa paling benar yang pernah mereka rasakan.
Bab 8 – Pagi Setelahnya
Fajar tiba. Hujan berhenti. Dinda terbangun di pelukan Deni. Rambutnya kusut, tubuhnya lelah, tetapi hatinya hangat.
Ia menatap wajah Deni yang tertidur. Ada damai, ada bahagia… sekaligus takut. Bagaimana jika orang tahu? Bagaimana jika rahasia ini terbongkar?
Tetapi saat Deni menggenggam tangannya bahkan dalam tidur, Dinda tahu: ia tak ingin pergi.
Bab 9 – Studio Foto Pemuas Birahi – Rahasia yang Menyala
Hari-hari berikutnya, mereka pandai menyembunyikan hubungan. Dunia hanya tahu Deni sebagai fotografer dan Dinda sebagai gadis biasa.
Tetapi di balik layar, ada rahasia yang membara. Setiap sesi foto menjadi alasan untuk bertemu. Setiap hujan menjadi dalih untuk saling berpelukan.
Dinda tahu ini berbahaya. Deni juga tahu mereka melanggar batas. Tetapi rasa yang mereka miliki lebih kuat dari sekadar logika.
Bab 10 – Pelukan Terlarang
Suatu malam, Dinda berbisik di telinga Deni:
“Entah sampai kapan kita bisa begini.”
Namun Deni memeluknya erat. “Jangan pikir besok. Malam ini cukup. Malam ini aku peluk kamu.”
Setelah itu mereka pun berpelukan, seolah dunia di luar tak pernah ada. Rahasia itu mungkin terlarang, tetapi justru di sanalah mereka menemukan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan siapa pun.
Ending:
Pelukan itu tak pernah benar di mata dunia, tetapi bagi Deni dan Dinda, di sanalah mereka merasa hidup, di sanalah cinta mereka paling nyata.