
Tetangga Binal-ku
Bagian 1: Tetangga Binal-ku, Benih Rahasia
Bab 1 – Tetangga Baru
Tetangga Binalku – Cerita Dewasa – Ardi, mahasiswa rantau semester lima, baru seminggu tinggal di kos baru di daerah Dago, Bandung. Kos itu juga berdampingan dengan sebuah rumah kontrakan sederhana. Suasana cukup tenang, tidak terlalu ramai, cocok untuk belajar. Tetapi ada satu hal yang membuat jantung Ardi berdebar lebih dari biasanya: tetangganya.
Di rumah kontrakan itu tinggal seorang perempuan dewasa bernama Mira. Usianya sekitar akhir dua puluhan, wajah ayu dengan mata teduh yang kadang menyimpan kesepian. Rambutnya hitam sebahu, sering digelung seadanya. Ardi pertama kali melihatnya ketika sedang menyapu halaman. Saat itu Mira mengenakan daster sederhana, tetapi entah kenapa auranya begitu menawan.
“Mahasiswa ya, Dik?” tanya Mira sambil tersenyum ramah.
“Iya, Mbak. Baru pindah kemarin.”
“Selamat datang, semoga betah. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ya.”
Tatapan mata itu… seperti ada sesuatu yang berusaha disembunyikan dan juga membuat Ardi tak bisa berhenti memikirkannya.
Bab 2 – Suara dari Dapur
Malam itu, sekitar pukul sembilan, Ardi sedang mengetik tugas. Kos yang lain cukup sepi. Dari arah rumah kontrakan sebelah, ia mendengar suara dentingan piring dan sendok. Awalnya biasa saja. Tetapi kemudian terdengar suara Mira bernyanyi pelan—lirih, sendu, seperti orang yang berusaha menghibur dirinya sendiri.
Ardi membuka jendela kamarnya. Dari celah tirai, ia bisa melihat dapur kontrakan itu samar-samar. Mira sedang mencuci piring, namun lampu kuning temaram membuat bayangan tubuhnya terlihat begitu lembut. Dasternya basah sedikit di bagian pinggang, menempel mengikuti lekuk tubuhnya.
Ardi buru-buru menutup tirai, merasa bersalah. Tetapi suara lirih Mira itu menempel di kepalanya. Malam itu ia susah tidur.
Bab 3 – Pertemuan di Teras
Keesokan sore, Ardi duduk di teras kos sambil membaca buku. Tiba-tiba Mira muncul dengan nampan berisi segelas teh hangat dan juga beberapa kue kecil.
“Ardi, ini coba cicipin. Aku kebetulan bikin tadi pagi,” katanya sambil menyodorkan.
“Oh, terima kasih banyak, Mbak Mira. Repot-repot amat.”
“Ah, nggak repot. Aku cuma senang ada tetangga baru. Rumah jadi terasa rame.”
Mereka duduk bersama di teras. Angin sore membawa aroma teh melati. Mira banyak bertanya tentang kuliah Ardi, kehidupan di rantau, dan keluarganya. Ardi juga sesekali bertanya tentang suami Mira. Dari situ ia tahu: suami Mira seorang sales yang sering dinas luar kota, bahkan bisa berminggu-minggu tidak pulang.
Ada jeda hening ketika Mira menatap jauh ke jalanan sepi. Senyumnya tipis, tetapi matanya seperti menahan sesuatu. Saat itu Ardi merasa: Mira kesepian.
Bab 4 – Sentuhan Tak Sengaja
Hujan deras turun malam itu. Kemudian listrik pun padam di kos. Ardi keluar kamar hendak memastikan keadaan, dan tidak sengaja juga melihat Mira berlari kecil dari teras rumahnya sambil menenteng jemuran yang belum sempat diangkat.
Tanpa berpikir panjang, Ardi menghampiri dan ikut membantu. Tangan mereka sempat bersentuhan ketika meraih kain basah. Hanya sekejap, tetapi cukup untuk membuat keduanya terdiam sesaat.
“Eh… maaf,” kata Mira pelan.
“Enggak, aku yang harusnya minta maaf,” balas Ardi gugup.
Mereka tertawa kecil menutupi canggung. Tetapi setelah itu, jantung Ardi berdegup lebih kencang. Ada getaran halus yang ia rasakan dari sentuhan tadi—getaran yang anehnya juga terlihat di mata Mira.
Bab 5 – Rahasia di Balik Tirai
Suatu malam, Ardi terbangun karena suara berisik dari luar. Ia mengintip pelan dari balik tirai. Mira sedang duduk sendiri di teras kontrakannya, hanya ditemani lampu kecil dan segelas kopi. Dari wajahnya jelas ia baru saja menangis—mata sembab, bibirnya sedikit gemetar.
Ardi ragu untuk menghampiri. Tetapi tiba-tiba, Mira menoleh ke arah jendela kos Ardi, seolah tahu ada yang memperhatikannya. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, keduanya saling berdiam, lalu Mira memberi senyum tipis—senyum yang menyimpan ribuan kata tak terucap.
Ardi menutup tirai dengan jantung berdebar. Kemudian malam itu ia sadar: ada rahasia besar di balik sosok Mira. Dan entah bagaimana, ia mulai terjebak dalam arus perasaan yang berbahaya.
Bagian 2: Tetangga Binal-ku, Godaan yang Tumbuh
Bab 6 – Malam yang Sunyi
Suami Mira sudah seminggu lebih masih belum pulang. Malam itu, Ardi sedang belajar ketika terdengar suara hujan deras lagi. Namun dari jendela, ia melihat Mira di teras dengan selimut tipis, duduk termenung sambil memeluk lutut.
Rasa iba membuat Ardi memberanikan diri keluar.
“Mbak, nggak dingin duduk di luar gini?”
Mira menoleh, sedikit kaget. “Oh… Ardi. Nggak apa-apa. Aku cuma nggak bisa tidur.”
Ardi duduk di kursi sebelahnya. Hujan deras, udara dingin, dan suasana hening membuat percakapan mereka semakin intim. Mira menceritakan rasa sepinya, bagaimana ia sering menunggu suami yang jarang pulang, dan kadang merasa tak dianggap.
Ardi mendengarkan dengan hati bergetar. Ia ingin menenangkan, tetapi kata-kata terasa kaku. Hanya tatapan matanya yang bicara.
Bab 7 – Gelas Kopi dan Getaran
Beberapa hari kemudian, Mira mengetuk pintu kamar Ardi. “Ardi, aku bikinin kopi. Mau?” katanya.
“Wah, boleh banget Mbak.”
Mereka duduk di meja kecil di kamar kos Ardi. Hujan baru saja reda, aroma tanah basah bercampur dengan aroma kopi hangat. Mira tanpa sadar duduk terlalu dekat. Saat ia menyerahkan gelas, jari mereka kembali bersentuhan.
Kali ini, Mira tidak buru-buru menarik tangannya. Ada jeda sepersekian detik—cukup untuk membuat Ardi menelan ludah keras-keras.
Mira tersenyum samar. “Kamu anaknya tenang ya, beda sama cowok-cowok lain.”
Ardi menunduk. “Aku… nggak tahu harus bilang apa.”
“Kadang… diam juga sudah cukup,” balas Mira lirih.
Getaran itu semakin nyata.
Bab 8 – Rahasia di Ruang Tamu
Suatu sore, listrik mati lagi. Mira mengetuk kos Ardi. “Boleh numpang duduk sebentar? Gelap di rumah.”
Ardi tentu mengiyakan. Kemudian mereka duduk di ruang tamu kos sederhana. Lampu emergency kecil menyinari wajah Mira samar-samar. Senyumnya tampak rapuh, matanya menyimpan kerinduan yang sulit dijelaskan.
Setelah itu Mira tiba-tiba berbisik, “Ardi… kamu pernah merasa kesepian banget, sampai butuh seseorang buat sekadar ada di sampingmu?”
Ardi menatapnya lama. “Pernah, Mbak. Dan aku ngerti perasaan itu.”
Keheningan menyelimuti. Hanya suara hujan di luar. Saat itu, jarak mereka sangat dekat. Begitu dekat hingga aroma tubuh Mira tercium lembut.
Bab 9 – Bibir yang Hampir Bertemu
Malam semakin larut. Mira masih duduk di ruang tamu kos Ardi. Mereka bercerita tentang banyak hal—masa kecil, mimpi, hingga luka hati yang tak pernah ia ceritakan ke siapa pun.
Perlahan, Mira menundukkan kepala, lalu menatap Ardi. Mata mereka terkunci. Ardi merasa seluruh tubuhnya panas. Ia ingin mendekat, tetapi ragu.
“Mbak…” suara Ardi bergetar.
“Ardi…” suara Mira bahkan lebih pelan.
Bibir mereka semakin dekat, hanya sejengkal. Tetapi tiba-tiba, lampu kembali menyala. Keduanya refleks menjauh, wajah merah, jantung berpacu cepat.
“Sudah malam. Aku pulang dulu ya,” ucap Mira buru-buru sambil berdiri.
Ardi hanya bisa mengangguk, masih terengah dan masih ketakutan ada tetangga lain melihat.
Bab 10 – Api yang Sulit Padam Karena Tetangga Binalku
Sejak malam itu, suasana berubah. Setiap tatapan, setiap senyuman, bahkan sapaan sederhana terasa penuh makna tersembunyi.
Ardi makin sering memikirkan Mira, bahkan di kelas ia sulit fokus. Begitu pula Mira—matanya lebih sering tampak kosong, seolah pikirannya melayang ke sesuatu yang ia sembunyikan.
Sampai akhirnya, suatu sore, Mira kembali mengetuk pintu Ardi. Kali ini ia tidak membawa kopi, tidak juga alasan listrik mati. Hanya berdiri dengan wajah ragu, lalu berkata lirih:
“Ardi… boleh aku masuk sebentar?”
Bagian 3: Tetangga Binal-ku, Rahasia yang Terungkap
Bab 11 – Langkah yang Tak Terbendung
Ardi membuka pintu. Mira berdiri dengan wajah canggung, tetapi sorot matanya tegas.
“Aku… butuh teman bicara,” katanya pelan.
Tanpa banyak tanya, Ardi mempersilakan masuk. Pintu tertutup, dan dunia seakan hanya milik mereka berdua. Saat duduk, Mira mendekat begitu dekat hingga bahu mereka bersentuhan.
“Ardi…” suaranya serak. “Aku nggak tahu kenapa, tetapi setiap aku sama kamu… aku merasa hidup lagi.”
Ardi menatapnya. Hatinya bergejolak. Ia tahu ini salah, tetapi juga tahu ia tak sanggup menolak. Perlahan, ia meraih tangan Mira. Dan kali ini—Mira tidak menarik diri.
Bab 12 – Titik Pecah Tetangga Binalku
Malam itu, hujan turun lagi. Di kamar kos sempit, keduanya larut dalam pelukan yang hangat, penuh desah dan bisikan terlarang.
Mira menggigil bukan karena dingin, tetapi karena perasaan yang ia tahan terlalu lama akhirnya pecah. Ardi pun kehilangan kendali, membiarkan rasa yang selama ini ia kubur menguasainya.
Setiap sentuhan jadi pelampiasan, setiap bisikan jadi rahasia. Mereka tahu batas sudah dilanggar, tetapi justru itulah yang membuat api semakin menyala.
Saat hening, Mira berbisik dengan mata berkaca-kaca:
“Apa yang kita lakukan ini… nggak bisa balik lagi, Ardi.”
Ardi menatapnya dalam. “Aku tahu, Mbak. Tetapi aku nggak nyesel.”
Bab 13 – Bayangan Ketahuan
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah drastis. Mira sering mencari alasan untuk mampir, Ardi pun tak bisa menolak. Mereka hidup dalam dunia kecil penuh rahasia.
Tetapi bayangan ketahuan selalu menghantui.
Sekali waktu, suami Mira tiba-tiba pulang tanpa kabar. Ardi yang sedang duduk di ruang tamu bersama Mira langsung panik. Mira sigap menyuruh Ardi pura-pura ke kamar.
Jantung Ardi hampir meledak ketika mendengar suara suami Mira. Tetapi ketika pria itu kelelahan dan langsung tidur, Mira menatap Ardi sambil menahan tawa kecil bercampur degup takut.
“Lihat kan? Kita main api, Ardi…” katanya sambil menyentuh tangannya di balik meja.
Bab 14 – Rahasia di Ambang Pintu
Suatu sore, seorang tetangga kos memergoki Mira keluar dari kamar Ardi. Pandangan curiga langsung menusuk.
Mira buru-buru tersenyum, “Tadi cuma nitip charger.”
Tetangganya mengangguk pelan, tetapi jelas tak sepenuhnya percaya.
Ardi sadar, rahasia ini tak mungkin selamanya aman. Tetapi setiap kali ia menatap Mira, ia merasa tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah momen di mana mereka bisa bersama.
Mira pun semakin berani, terkadang sengaja memberi kode, senyum nakal, atau tatapan panjang. Setiap interaksi menjadi semacam permainan berbahaya.
Bab 15 – Akhir yang Membakar
Malam itu, mereka kembali bertemu di kamar Ardi. Tetapi kali ini berbeda. Ada campuran rasa takut, rindu, dan pasrah.
Mira menggenggam tangan Ardi erat. “Aku nggak tahu sampai kapan kita bisa kayak gini. Mungkin besok, mungkin lusa, semuanya terbongkar.”
Ardi menunduk. “Namun kalau pun ketahuan aku nggak nyesel. Kamu udah jadi bagian dari hidupku, Mbak.”
Air mata Mira jatuh. Mereka berpelukan erat, seolah tak mau melepaskan. Namun di luar, suara hujan mengguyur deras, menutupi segala desahan, segala bisikan, segala rahasia.
Dan di malam itu—tanpa peduli dunia luar—mereka benar-benar larut, juga mengukir akhir yang hanya milik mereka berdua.